Media Massa sebagai Kontrol Sosial atau Pembunuh Sosial?
Oleh: Bahrul Ulum, S.I.Kom
Editor: Bryant Hadinata
Baru-baru ini, jagat Pulau Belitung sedang dihebohkan dengan adanya penangkapan enam remaja di Manggar yang sedang melakukan pesta seks dan minuman keras di salah satu penginapan di Manggar. Dari kacamata hukum hingga teologi, tentu hal ini tidak dapat dibenarkan dari sudut manapun, terlebih para pelaku adalah anak di bawah umur.
Hal ini kemudian disikapi oleh pemerintah daerah sebagai situasi darurat kenakalan remaja, tetapi dalam tulisan kali ini penulis tidak akan membahas tentang bagaimana kejadian kasus ini lebih rinci, namun akan cenderung membahas pengamatan penulis tentang bagaimana cara pemerintah dan membandingkannya dengan cara seorang intelektual komunikasi bekerja dalam menyikapi kasus ini.
Kasus heboh ini sebetulnya terdapat sesuatu yang unik, bukan karena penangkapan enam orang remajanya, sebab perihal kenakalan remaja sudah menjadi rahasia umum jika Belitung Timur sudah teracuni dengan aplikasi pencarian teman berwarna hijau yang secara praktis digunakan untuk booking online, lalu kasus anak-anak putus sekolah yang mengonsumsi obat-obatan adiktif.
Penulis menyoroti ledakan berita di media massa yang menyorot kasus ini yang bahkan sampai diliput di saluran televisi nasional. Hal ini membuat penulis mengingat sebuah teori komunikasi bernama spiral keheningan. Teori yang digagas oleh Elisabeth Noelle Neuman ini secara garis besar menggambarkan bagaimana proses komunikasi yang terjadi oleh orang-orang yang memilih diam karena merasa pendapat mereka tidak kuat, lalu saat mendapat penguatan opini di media massa, maka mereka akan mengekspresikannya.
Masyarakat yang telah menerima kabar terkait kasus ini di ranah micro local adalah individu yang mengisolasi diri untuk menyampaikan berita ini secara gamblang sehingga inilah yang menghasilkan kesenyapan massal yang kita kenal dengan rahasia publik. Namun, rahasia publik ini ternyata tidak bertahan lama, dengan makin diangkatnya isu ini oleh media massa, maka keheningan massal tadi akan berubah menjadi keberanian publik dalam menyampaikan pendapat karena kondisi tiap-tiap individu sudah merasa opininya didukung oleh media massa.
Lebih luas lagi, fenomena ini akan memengaruhi sikap masyarakat kepada para pelaku yang awalnya hanya menjadikan kasus ini aib pribadi yang ditutup rapat-rapat, dan karena adanya motivasi kuat tadi, masyarakat kini akan lebih berani bersikap untuk mengucilkan pelaku dan bahkan bisa jadi dapat melakukan perundungan verbal dan non-verbal kepada para pelaku dan yang rentan dalam hal ini adalah pelaku perempuan. Ini mungkin hal yang baik mengingat penebusan dosa yang mereka lakukan, tetapi kembali lagi, apakah langkah yang dijalankan media massa sebagai lembaga kontrol sosial ini adalah hal yang tepat? Silakan renungkan dalam diri kita.