Mengekang Tak Membuatnya Bahagia
Oleh:
Christian Vieri
Siswa Kelas XII IPS SMAN 1 Manggar
Editor:
Ares Faujian
Sudah sewajarnya bagi orang tua untuk membatasi anak-anaknya. Namun, tidak sedikit orang tua yang terlalu membatasi anaknya sehingga kata “membatasi” tersebut berubah menjadi mengekang. Awalnya sayang, namun karena berlebihan menjadikan anak memiliki keterbatasan ruang kreativitas dan tentunya termasuk dalam menentukan pilihan di masa depan.
Menurut penelitian dari University of Vermont menemukan bahwa mengekang seorang anak dapat menyebabkan mereka menjadi tertekan dan memiliki perilaku kejam terhadap teman ketika mereka telah dewasa. Selain itu, terlalu mengekang juga dapat mempengaruhi pola pikir seorang anak terhadap orang tuanya yang awalnya respect atau segan, menjadi takut terhadap orang tuanya.
Miris melihat seorang anak yang merasa takut terhadap orang tuanya karena orang tuanya terlalu posesif dan menjadi orang tua yang tirani. Di mana, seharusnya orang tua adalah tempat anak untuk berbagi cerita dan meminta pendapat untuk berubah. Efek lainnya anak juga akan berpikir bahwa orang tuanya tidak percaya lagi padanya dan hal ini sungguh berbahaya bagi kelangsungan aktivitas anak saat ini dan di masa mendatang.
Mengekang anak berdampak pada mental sang anak. Mereka bisa mengalami cacat mental, akan banyak melamun, dan tuna cakap akan terus menjadi bagian dari kepribadian anak sampai dewasa.
Menurut situs IDN Times, ada 5 dampak mental jika orang tua sering mengekang anak. Pertama, anak merasa tidak punya kebebasan dan lebih gampang stres. Kedua, anak menjadi kaku dan tidak pandai bergaul. Ketiga, anak menjadi lebih suka sendiri dan menjadi individualis. Keempat, anak tidak bisa mandiri sebab tidak berwawasan luas tentang dunia luar. Kelima, anak menjadi tidak bahagia karena merasa tidak pernah menjadi dirinya.
Hal tersebut bisa menjadi pemicu yang besar bagi anak untuk membunuh diri sendiri. Hal ini tentunya dikarenakan sudah merasa tidak tahan dan merasakan stres yang amat berat serta tidak tahu kepada siapa harus bercerita.
Jika sudah terjadi seperti itu, siapa yang lantas harus disalahkan? Tentunya sebagai manusia beraga dewasa, orang tua tidak ingin anaknya menjadi seperti itu. Maka dari itu, ketahuilah apakah Anda adalah orang tua yang mengekang atau tidak.
Berikut ini adalah ciri-ciri orang tua yang mengekang anaknya terlalu berlebihan menurut situs haibunda.com (2018). Yang pertama adalah membuat terlalu banyak aturan. Nancy Darling, Ph.D, profesor psikologi di Oberlin College mengatakan orang tua yang terlalu mengekang anak cenderung memiliki terlalu banyak aturan dan aturan tersebut bersifat mengikat serta wajib dilakukan jika tidak maka akan terkena hukuman dari orang tua.
Kedua adalah suka mengancam. Sedikit demi sedikit mengancam anak, terlebih ketika mereka tidak melalukan apa yang seharusnya. Hal ini justru membuat anak berpikir Anda adalah orang tua yang menyebalkan dan sosok yang memimpin menggunakan rasa takut bukannya rasa segan atau hormat.
Yang ketiga adalah lebih sering galak bukan tegas. Perlu diketahui bagi orang tua, tegas dan galak adalah dua hal yang berbeda namun sering disamakan oleh orang tua. Tegas sendiri tidak perlu galak. Sedangkan galak cenderung sering marah, mencaci maki, berbicara dengan nada atau intonasi yang tinggi, dan bahkan sampai memukul, menampar atau yang lainnya.
Keempat adalah tidak memberi anak waktu. Ketika orang tua meminta anaknya untuk melakukan suatu hal yang sulit, jangan hanya memerintah mereka. Cobalah bekerja sama dengan anak dan jangan hanya bisa menyuruh dan memarahi anak ketika apa yang disuruh tidak dilakukan dengan baik. Karena pada dasarnya anak adalah manusia yang manusiawi. Belum dewasa dan pasti tidak sempurna dalam melakukan sesuatu.
Yang kelima adalah selalu jadi polisi. Psikolog Ron Taffel, mengatakan salah satu ciri orang tua yang terlalu mengekang adalah dia bertindak sebagai polisi. Artinya orang tua menjadi sosok yang terlalu keras pada anak dan selalu curiga dengan setiap aktivitas yang dilakukan oleh anak.
Terakhir adalah jadi orang tua otoriter bukan berwibawa. Orang tua yang berwibawa dan otoriter itu berbeda. Orang tua yang otoriter cenderung tidak mau mendengarkan anaknya. Sedangkan orang tua yang berwibawa memiliki kharisma namun masih mengedepankan kehangatan dan kepedulian terhadap keluarga.
Setelah melihat beberapa ciri di atas, apakah Anda termasuk ke dalam orang tua yang terlalu mengekang? Jika iya, maka Anda telah membaca artikel yang tepat! Karena penulis juga akan menginformasikan bagaimana cara agar tidak mengekang anak, namun anak masih bisa terkontrol dengan baik.
Menurut sudut pandang penulis, yang pertama adalah mulailah untuk memberikan kepercayaan terhadap anak. Karena menurut penulis, kepercayaan adalah satu hal yang sangat penting. Jika Anda sering tidak percaya kepada anak, mereka juga akan malas bercerita dengan Anda dan cenderung menutup-nutupi masalahnya. Kepercayaan adalah salah satu kunci keterbukaan antara orang tua dan anak serta cara membangkitkan semangat agar anak lebih percaya diri dengan kemampuannya.
Yang kedua adalah memberikan peraturan yang masuk akal dan juga jangan terlalu banyak memberikan peraturan. Biarkan sang anak menilai mana hal buruk dan mana hal baik. Sebagai orang tua, cukup mengawasi dan menegur jika memang anak sudah kelewatan batas.
Yang ketiga adalah jangan terpaku dengan pemikiran kuno yang sudah tidak selaras lagi dengan zaman modern sekarang ini. Karena zaman pendidikan orang tua ketika masih kanak-kanak dengan zaman pendidikan anak saat ini sungguh jauh berbeda.
Terakhir, sebagai orang tua kita tidak boleh mematok semua yang kita pilih dan yang kita mau kepada anak. Walaupun memang orang tua memiliki pengalaman karena pernah belajar dari masa lalu. Namun, tidak semua keinginan orang tua harus dipaksakan. Karena pada hakikatnya, minat, bakat, kegemaran serta pilihan anak pasti memiliki perbedaan dengan orang tua. Lebih baik diskusikan dengan anak terlebih dahulu apakah keinginan anak selaras atau tidak dengan yang orang tua mau.
Pertimbangkan baik-buruk bersama ketika hal itu menjadi pilihan untuk masa depan. Karena ketika sesuatu hal dipaksakan, hal itu akan menjadi sia-sia bagi masa depan si anak, dan menjadi cambuk menyakitkan bagi orang tua ketika tidak bisa melihat anaknya bahagia di masa dewasa.