Menilik Filosofi Pendidikan dari Sang Ki Hadjar Dewantara
Oleh:
Ares Faujian, S.Pd.
Benar atau tidak, kita sempat mengingkari filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara (KHD) dalam penerapan kurikulum di Indonesia. Diluncurkannya Kurikulum Merdeka hingga program Sekolah Penggerak dan Pendidikan Guru Penggerak menjadi warna lama yang kembali dirasa baru. Terutama jika kita mengulas esensi “kodrat” KHD dalam pembelajaran berdiferensiasi yang kini viral di kalangan guru.
Secara umum, bahkan untuk kalangan guru, yang paling kita ingat dari filosofi pendidikan KHD adalah semboyan “ing ngarso suntulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.” Memori ini adalah ingatan terkuat yang kita punya, selain ingatan KHD sebagai Menteri Pendidikan pertama, Bapak Pendidikan Indonesia dan telah mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta.
Namun, ada hal-hal lainnya yang patut kita sosialisasikan kepada publik, agar eksistensi pemikiran KHD ini kembali tumbuh dan berkembang di nusantara. Hal ini semata-mata untuk mengingatkan kita akan pentingnya perjuangan pendidikan Indonesia dari penjajahan, termasuk membumikan nilai-nilai kemanusiaan sebagai manifestasi pemikiran KHD, yang dalam hal ini menyelaraskan potensi atau kodrat peserta didik dengan budi pekerti.
Memang terdapat perbedaan yang sangat signifikan dari potret pendidikan Indonesia sejak zaman kolonial dan era ini. Hal ini terlihat dari perjuangan rakyat Indonesia untuk terbebas dari kebodohan dengan mendirikan Taman Siswa (1922), sebagai wujud peningkatan kualitas bangsa dan reformasi pendidikan. Perjuangan ini patut dicontoh bagi warga pendidikan saat ini, karena ihwal ini mengajarkan kita bagaimana upaya dan semangat keluar dari keterbatasan (penjajahan).
Terdapat pula perbedaan tujuan pendidikan antara zaman kolonial dan zaman digitalisasi saat ini. Tujuan pendidikan yang dapat dilihat pada zaman kolonial ini yakni, pendidikan hanya terbatas pada aspek pengetahuan dan keterampilan semata, bahkan dasar (baca dan tulis). Hal ini pun hanya untuk kalangan tertentu, yaitu pegawai pemerintah dan anak-anaknya, sehingga bersifat diskriminatif, terutama bagi kalangan buruh, petani, dan rakyat biasa.
Persamaan antara proses pembelajaran zaman kolonial dan sekarang ialah terletak pada usaha meningkatkan kualitas manusia, sehingga dihasilkan produktivitas dalam kerja dan tata usaha pekerjaan. Sedangkan perbedaan antara kedua zaman ini yaitu, zaman kolonial hanya terpusat pada proses pembelajaran klasik (ceramah) dengan media serta strategi pembelajaran yang seadanya. Namun, era ini (2022), proses pembelajaran sudah berkembang pesat dan berbasis inovasi dan digitalisasi.
Asas dan Dasar Pendidikan
Dalam literatur Dasar-dasar Pendidikan (1936-1937), Ki Hadjar Dewantara membedakan kata “pendidikan” dan “pengajaran” dalam memahami esensi, termasuk tujuan pendidikan di Indonesia. KHD mendeskripsikan pengajaran atau onderwijs adalah bagian dari pendidikan. Ia mengartikan pengajaran merupakan proses pendidikan dalam memberi ilmu atau berfaedah untuk kecakapan hidup anak secara lahir dan batin. Di sisi lain, ia mengartikan pendidikan atau opvoeding ialah memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Sehingga menurut KHD (2009):
“Pendidikan dan pengajaran merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya dalam arti yang seluas-luasnya.”
Inti sari dari pengajaran dan pendidikan ini adalah memerdekakan manusia. Yang dalam hal ini “pendidikan” dalam desain umum yakni, menciptakan wadah untuk peserta didik guna tumbuh secara utuh dan mampu memuliakan dirinya sendiri dan orang lain.
Dalam proses mendapatkan manusia yang merdeka seperti ini, diperlukan dasar-dasar pendidikan yang “menuntun”. Artinya peserta didik harus dituntun oleh di penuntun. Lalu, siapa si penuntun ini?
Menuntun perilaku dan kodrat peserta didik, KHD menitikberatkan pada peran pendidik atau guru. Pendidik diibaratkan seperti seorang petani atau tukang kebun dan peserta didik diilustrasikan sebagai biji tanaman yang disemai serta ditanam oleh pak tani (guru) di suatu lahan atau media tanam.
Setiap biji tanaman (peserta didik) akan memiliki cara menanam dan pemeliharaan yang berbeda-beda. Misalnya, cara menanam dan merawat tanaman versi padi akan berbeda dengan tanaman versi jagung. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap hasil yang didapatkan.
Tidak hanya itu, walaupun tanahnya kurang subur namun pak tani (guru) mampu merawat tanaman dengan baik, maka akan diraih hasil yang lebih baik dari yang seharusnya. Begitu pula walaupun lahannya subur namun perawatan yang dilakukan asal-asalan oleh pak tani, maka kualitas tanaman yang diharapkan pun tidak akan sesuai ekspektasi (harapan). Anak-anak itu bagaikan bibit-bibit polos yang ditentukan arah kebaikannya oleh pak tani, si penuntun (guru).
Dalam proses “menuntun”, pendidik merupakan pamong belajar dan peserta didik diberi kebebasan (merdeka belajar) dalam proses perkembangnya. Peran pamong pada pendidik ini yaitu, memberikan pembimbingan dalam menentukan arah pendidikan anak agar tetap pada jalur yang tepat dan tidak kehilangan arah, bahkan membahayakan.
Dalam filosofi pendidikan, KHD mengingatkan kepada para pendidik untuk tetap berpikir dan bersikap terbuka terhadap perubahan. Indonesia memiliki kekuatan sosio-kultural yang dapat menjadi proses ‘menebalkan’ kekuatan kodrat anak yang masih samar-samar. Hal ini juga menjadi filterisasi dari perubahan-perubahan yang dapat mengancam lokalitas dan jati diri bangsa.
Kodrat Anak
Ki Hadjar Dewantara mendeskripsikan dasar pendidikan berhubungan kodrat anak, yaitu kodrat alamnya dan kodrat zamannya. Kodrat alam yaitu, terkait “sifat” dan “bentuk” lingkungan di mana mereka berada. Hal ini misalnya terkait dengan bakat yang mereka miliki, ras dan atau suku tempat mereka berasal, hingga karakteristik lingkungan budaya daerah mereka (contohnya, masyarakat pegunungan, masyarakat pesisir, masyarakat perdagangan, dsb).
Menurut KHD, kodrat zaman yaitu berkenaan dengan “isi” dan “irama”. Maksudnya ialah, edukasi di masa sekarang menekankan pada kemampuan peserta didik memiliki (isi) keterampilan abad 21. Sehingga pendidik diharapkan mampu menuntun anak untuk menyesuaikan diri (irama) dengan kodrat zaman, dan tetap menjaga harkat dan martabat kodrat alam bangsanya.
KHD menegaskan didiklah anak sesuai zamannya. Hal ini sesuai pula dengan kutipan kata dari Khalifah Ali Bin Abi Thalib yang mengucapkan hal yang serupa. Artinya, cara mengajar, cara belajar, serta interaksi peserta didik dan guru memiliki dinamika. Karakteristik peserta didik abad 20 tentu akan memiliki perbedaan dengan siswa abad 21. Sehingga pendidik haruslah bisa menuntun kodrat alam anak dengan baik, namun tidak menafikan perkembangannya sesuai dengan kodrat zamannya.
Budi Pekerti
Dalam kesempurnaan dan mewujudkan insan yang baik. Tentunya tidak serta merta peran pendidik di sekolahlah yang terpenting. KHD menjelaskan, bahwa sejatinya keluarga menjadi tempat utama, bahkan paling baik dalam menumbuh kembangkan jiwa sosial dan karakter atau budi pekerti anak. Keluarga merupakan ruang pertumbuhan bagi anak untuk mengadaptasi figur, bimbingan, perhatian, hingga pengajaran dari orang tua. Oleh sebab itu, peran orang tua tak ubahnya sebagai guru dan sosok teladan bagi pertumbuhan karakter baik anak di rumah.
Budi pekerti yang meliputi cipta, rasa, karsa dan karya menjadi keseimbangan kodrat alam dan kodrat zaman yang dimiliki peserta didik. Maka dari itu, keselarasan hidup anak dilatih, yaitu terkait pemahaman kesadaran diri yang baik tentang kekuatan dirinya, dan bagaimana anak tersebut mampu menghargai diri serta keberadaan orang lain.
Budi pekerti adalah kunci keselarasan dan kesuksesan hidup anak. Tidak hanya peran pendidik yang berpengaruh di dalamnya, namun orang tua juga harus ikut andil dan berkolaborasi baik dengan sekolah. Hal ini dilakukan tidak semata-mata guna memerdekakan anak dan menggapai kebahagiaan mereka setinggi-tingginya. Namun sebenarnya untuk capaian kesejahteraan nasional secara umum.
Asas Tri-Kon
Menurut KHD, dalam melakukan perubahan, dalam hal ini ialah perubahan pembelajaran, seorang pendidik harus melakukan 1) Kontinuitas, yaitu melakukan dialog kritis tentang sejarah. Dalam bergerak maju kedepan, kita tidak boleh lupa akan akar nilai budaya yang hakiki dari masyarakat.
Dalam pembelajaran di kelas dan di sekolah, ihwal ini bisa dilakukan dengan menyanyikan lagu nasional sebelum atau sesudah pembelajaran. Dalam skala sekolah, pendidik bisa membuat program sekolah terkait wawasan kebangsaan, yaitu seminar kebangsaan dan lomba-lomba sejarah Indonesia yang mengenang atau mengulas sejarah jati diri bangsa. Yang terpenting, kegiatan ini haruslah berkelanjutan atau kontinyu di kelas dan sekolah.
Selanjutnya, 2) Konvergensi, yaitu pendidikan haruslah memanusiakan manusia dan memperkuat nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini bisa dilakukan dalam pembelajaran di kelas, seperti memberikan umpan balik yang mendidik apabila ada peserta didik yang melanggar kesepakatan belajar di kelas dan atau peraturan sekolah. Misalnya, tidak melakukan pemukulan, perundungan verbal, dsb. Hal ini tidak hanya terkait hukuman yang mendidik, namun pendidik juga harus memberikan rewards (penghargaan) bagi peserta didik yang berprestasi. Memanusiakan manusia adalah kunci agar nilai-nilai dari manusia itu sendiri bisa lestari dan dihargai bersama (masyarakat).
Terakhir adalah 3) Konsentris, yaitu pendidikan harus menghargai keragaman dan memerdekakan pemelajar, karena setiap orang berputar dan beredar sesuai orbitnya. Artinya, kita hidup dalam masyarakat besar yang sama (Indonesia) dan memiliki keberagaman, dimana keunikan-keunikan manusia ini harus dijunjung tinggi.
Di kelas, hal ini bisa dilakukan dengan pemerataan pembagian kelompok penugasan, hingga guru menyesuaikan cara penyampaian materi sesuai cara belajar peserta didik atau disebut juga pembelajaran berdiferensiasi. Untuk level sekolah, pendidik bisa menyalurkan minat dan bakat peserta didik sesuai kodrat alamnya dan memaksimalkan mereka dengan menuntun menjadi yang terbaik dari versinya masing-masing. Hal ini dilakukan dengan melakukan pemetaan dan pendataan kemampuan/ bakat peserta didik, selanjutnya memaksimalkan mereka dengan memandu dan membimbing untuk mengikuti berbagai kompetisi dalam rangka peningkatan kualitas potensi diri dan budi pekerti (sopan santun dan sportivitas).
Referensi:
Dewantara, K.H. (2009). Menuju Manusia Merdeka. Yogyakarta: Leutika
Dewantara, K.H. (1936). Dasar-dasar Pendidikan. Keluarga
.
*Penulis adalah peserta Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 7 Prov. Kep. Bangka Belitung
.
Ilustrasi: ceknricek.com