Negara Pancasila Sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah
Oleh:
Eki Piroza
Guru SMP Negeri 3 Kelapa Kampit
Editor:
Ares Faujian
Konsensus Nasional
Pancasila merupakan Konsensus Nasional seperti yang kita ketahui bersama. Para Founding Father Indonesia menunjukkan kedewasaan dalam bersikap, terlihat disaat terjadi perbedaan pandangan mengenai Pancasila versi Piagam Djakarta (Jakarta Charter) di dalam BPUPKI (Panitia Sembilan). Sehingga untuk menjembatani perbedaan pandangan dalam agama dan negara, kemudian tokoh bangsa perwakilan Islam dan nasional melakukan pembahasan untuk merubah sila pertama, yang selanjutnya perwakilan Islam menyetujui hal tersebut dan rumusan sila pertama berubah dari “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” berubah menjadi “Ketuhanan yang maha esa’’. Ini adalah salah satu bentuk kerelaan umat Islam untuk persatuan negara demi terciptanya integrasibangsa yang baru merdeka.
Beberapa pekan ini, di berbagai media massa baik cetak maupun online, banyak memberitakan mengenai RUU HIP. Sehingga sering kita temui, banyak kalangan yang menolak dengan keras adanya RUU HIP ini. Bahkan, meminta untuk dibatalkan dan tidak dimasukkan kedalam PROLEGNAS 2020. Penolakan itu terutama sekali pada kalangan Islam, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, hingga pada akhirnya pemerintah menetapkan untuk menunda pembahasan RUU HIP ini dan meminta DPR untuk terlebih dahulu melakukan dialog dan menyerap aspirasi masyarakat.
Pada tulisan yang lalu penulis membahas secara umum mengenai alasan Pancasila sudah final dan tidak seharusnya dibahas. Berbeda pada tulisan ini penulis fokus pada perspektif Negara Pancasila dalam Islam, terutama sudut pandang Muhammadiyah, sebagai salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia.
Pembentukan Negara Indonesia: Peran Umat Islam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lahir dari rentang sejarah yang sangat panjang, berkat anugerah dan rahmat dari Allah SWT serta seluruh perjuangan bangsa yang mengandung jiwa, cita-cita, dan keinginan luhur kemerdekaan. Hal ini kiranya bisa kita lihat pada alinea ketiga pembukaan UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia –sebagai penanda lahirnya negara Indonesia merdeka– ini adalah atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, serta didorong oleh keinginan luhur seluruh warga bangsa untuk merdeka.
Di balik lahirnya negara Indonesia, perlu kita sadari ada perjuangan para pendahulu bangsa yang berjuang tanpa kenal lelah, demi kemerdekaan dan tegaknya bangsa dan negara Indonesia. Mereka berjuang dengan caranya masing-masing, baik perjuangan fisik maupun perjuangan non fisik. Seluruh komponen bangsa turut serta dalam upaya kemerdekan bangsa dan negara Indonesia. Jika melihat sejarah jauh sebelum negara Indonesia berdiri, peranan umat Islam dan kerajaan-kerajaan Islam sangatlah penting dan strategis dalam perjuangan kemerdekaan dan pembentukan Indonesia sebagai bangsa dan negara yang berdiri kokoh. Bahkan, peranan umat Islam itu semakin menemukan momentumnya, ketika secara modern dan terorganisir melahirkan gerakan kebangkitan nasional, seperti lahirnya Jamiatul Khair (1905), Serikat Dagang Islam (1905), Sarekat Islam (1911), Muhammadiyah (1911), Allrsyad (1914), Persatuan Islam (1923), Nahdlatul Ulama (1926), dan lain-lain.
Negara Pancasila Sebagai Darul Ahdi Wa Asy Syahadah
Muhammadiyah sebagai organisasi gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahyi munkar adalah bagian integral dari bangsa Indonesia. Karena itu, Muhammadiyah senantiasa berusaha dengan segala kekuatan yang dimiliki untuk membangun Indonesia sebagai komitmen ke-Indonesian dan sebagai wujud pengamalan agama Islam menurut paham Muhammadiyah.
Bagi Muhammadiyah, NKRI yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 adalah Negara Pancasila yang ditegakkan di atas falsafah kebangsaan yang luhur dan sejalan dengan ajaran Islam. Kelima sila di dalam Pancasila secara esensi selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam dan dapat diisi serta diaktualisasikan menuju kehidupan yang dicita-citakan umat Islam, yaitu Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (Khoirudin, 2017, p.16).
Penerimaan Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara bagi sebuah negara baru bernama Indonesia memunculkan tafsir baru bahwa wilayah ini adalah wilayah perjanjian. Dalam pandangan salah satu tokoh Muhammadiyah dan juga pernah menjabat ketua, Bapak Din Syamsudin (2011), “Bisa dikatakan, NKRI adalah negara perjanjian atau adobe of concensus…’’. Komitmen kebangsaan Muhammadiyah tentang negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah telah secara tegas disusun dan dibahas dalam Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar tahun 2015 yang lalu. Keputusan Muktamar yang tertuang dalam Tanfidz keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-47 tersebut kini diterbitkan dalam bentuk buku yang bertajuk “Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah’’ penerbit Suara Muhammadiyah di tahun 2015.
Pandangan tentang negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah berangkat dari tiga latar belakang utama. Pertama, adanya kelompok-kelompok atau beberapa elemen masyarakat, terutama masyarakat muslim yang masih mempersoalkan relasi antara Islam dan negara serta mempersoalkan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Kedua, adanya realitas bahwa sebagai bangsa ini secara ideologis belum merumuskan dengan sangat eksplisit dan membuat satu penjelasan akademik mengenai negara Pancasila itu. Ketiga, ada sebuah realitas di mana masyarakat Islam dianggap sebagai ancaman terhadap negara Pancasila itu (Abdul Mu’ti, 2015).
Terkait tiga realitas inilah kemudian Muhammadiyah perlu membuat suatu pernyataan bahwa secara organisasi Muhammadiyah menerima Pancasila sebagai bentuk ideal, baik yang bersifat filosofi maupun ideologis. Bahkan juga secara konstitusional dalam hal berbangsa dan bernegara.
Darul Ahdi, adalah negara yang ditegakkan dan dibangun atas dasar perjanjian atau kesepakatan di antara seluruh rakyat warga negara (Syamsudin, 2017). Kesepakatan atau perjanjian ini bersifat politis karena ia berhubungan dengan kehidupan bernegara. Oleh karena itu, Muhammadiyah dan warganya sebagai bagian dari masyarakat dan bangsa Indonesia memiliki komitmen untuk tetap menjaga agreement itu. Tetap patuh terhadap kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oleh para pendiri bangsa-bangsa dalam hubungannya dengan bentuk negara kita yakni NKRI.
Muhamamadiyah Menjaga Pancasila dan Indonesia
Konsep Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah memberikan tafsir baru atas NKRI yang didirikan di atas perjanjian seluruh komponen bangsa, dan memberikan penegasan akan pentingnya pembuktian perjanjian itu dalam kehidupan membangun bangsa dan negara. Pancasila adalah moderat atau paradigma jalan tengah (the middle way) bagi bangsa Indonesia. Konsep ini sangat perlu untuk terus disosialisasikan, dibelajarkan dan diinternaliasikan pada seluruh warga negara Indonesia. Agar negara tetap dapat berdiri kokoh menghadapi berbagai ancaman, tantangan, hambatan, gangguan yang datang baik dari dalam maupun dari luar negara.
*Penulis merupakan Alumni PPKn Universitas Ahmad Dahlan (Yogyakarta).
mantaps bang Ekky, jadi agama bkn mjd pnghalang justru mjd ruh lahirnya dasar negara Pancasila
By Widi Utoyo