Nilam dan Keras Kepalanya
Oleh: Aura Kasih
Siswa SMPN 3 Manggar
Editor: Ares Faujian
“Kau memang tidak becus dalam menjalankan keuangan rumah! Sudah ku bilang, kantor sedang bermasalah, tidak bisa kah kau berhemat?”
Baru saja pulang sekolah, Nilam sudah mendengar pertengkaran kedua orang tuanya. Dia segera bergegas memasuki rumah untuk melihat apa yang terjadi. Terlihat Ibu yang berkaca-kaca matanya, nampak remuk hatinya saat itu.
“Ayah, bisakah kalian tidak bertengkar? Aku lelah mendengar kalian bertengkar terus-menerus.” ucap Nilam.
“Sudahlah, Ayah akan mendinginkan pikiran terlebih dahulu, kau temani ibumu saja, Nilam.” ujar Ayah.
Setelah pertengkaran singkat itu, tak terasa waktu pun berjalan terus hingga matahari yang sedang berada di atas kepala perlahan menghilang, tergantikan dengan kehampaan malam yang sunyi.
“Ayah, bisakah kita bicara berdua?” tanya Nilam.
“Apa yang ingin kau bicara kan, Nilam?” jawab Ayah.
“Kudengar keuangan di kantor Ayah sedang bermasalah, kalau tidak keberatan, aku ingin membantu Ayah. Aku akan bekerja sepulang dari sekolah. Uang hasil pekerjaanku akan kita pakai untuk keuangan rumah, selagi Ayah menyelesaikan pekerjaan di kantor.” ujar Nilam.
“Tidak perlu Nilam, Ayah akan menyelesaikan masalah di kantor secepatnya. Terima kasih sudah ingin membantu Ayah. Hari sudah semakin malam, sebaiknya kau kembali ke kamarmu.” ucap Ayah sambil memegang bahu anaknya.
“Ya, aku akan ke kamar dan segera tidur. Selamat malam, yah.”
Ayah lalu mengusap rambut Nilam.
Sepanjang perjalanannya ke kamar, Nilam terus berpikir tentang pembicaraannya dengan ayahnya.
“Aku harus tetap membantu Ayah, gak peduli Ayah akan marah karena aku membantunya dengan diam-diam” gumam Nilam sambil berbicara tipis-tipis.
Nilam akhirnya tetap memilih bekerja di salah satu butik milik keluarga dari salah satu temannya. Dia bekerja sepulang sekolah dan pulang pada malam hari, tepat sebelum ayahnya pulang.
Nilam selalu bersemangat dalam bekerja. Hingga tidak terasa sudah beberapa bulan dia bekerja di butik itu. Semenjak Nilam bekerja di butik tersebut, keuangan keluarga mereka pun mulai membaik. Nilam biasanya memberikan uang hasil pendapatannya kepada ibunya.
“Ah, sudah waktunya pulang, aku harus segera pulang, atau ayah akan tau kalau selama ini aku bekerja.” ucap Nilam.
Tetapi, sepertinya semesta tidak mendukung dirinya untuk pulang lebih awal. Sepanjang jalan yang dia lihat terasa sepi, dan parahnya lagi, tidak ada satu pun kendaraan umum yang lewat.
Setelah beberapa waktu menunggu, Nilam akhirnya mendapatkan kendaraan untuk pulang. Walaupun sudah mendapatkan kendaraan, tapi keterlambatan tetap menjadi temannya malam ini.
Saat ia sampai di depan rumah, ternyata Nilam sudah melihat mobil ayahnya berada di halaman rumah. Saat dia akan melangkahkan kakinya ke dalam rumah, terdengar suara sang ayah yang bertanya.
“Ke mana saja kau Nilam?”
“Baru pulang dari kerja kelompok, yah.”
“Tidak usah berbohong Nilam. Kau bekerja kan selama ini? Sudah Ayah bilang kepadamu, biarkan Ayah saja yang bekerja. Kau dan ibumu cukup menikmatinya saja. Biarkan Ayah yang mengurus keuangan keluarga kita.”
“Ayah, aku hanya ingin membantu keluarga kita. Aku tidak ingin terus-menerus mendengar pertengkaran kalian yang hanya mempermasalahkan keluarga kita yang kekurangan uang.”
Nilam pun mengusap air matanya, dan keheningan terjadi selama 10 detik.
Mereka saling bertatapan, namun Nilam langsung menunduk.
“Maafkan Ayah, Nilam. Ayah memang tidak becus dalam mempertahankan keharmonisan keluarga kita. Kau harus menjadi saksi atas pertengkaran Ayah dan Ibu di rumah.”
“Tidak Ayah, kau laki-laki terhebat yang pernah aku temui. Ayah sudah bekerja dari pagi hingga malam untuk mengurus kami. Nilam tahu kalau keluarga kita ada hutang. Ditambah lagi kecelakaan pada waktu itu. Ayah harus mengganti kerugian setelah menabrak mobil orang lain, karena Ayah mengantuk, pulang larut malam bekerja.”
Nilam pun semakin menangis tersedu-sedu.
“Yah, Nilam mengucapkan terima kasih kepada Ayah, karena Ayah masih mempertahankan keluarga
kita” ucap Nilam sambil mengusap air mata yang semakin deras mengalir bak mata air sungai.
“Ayah yang harus berterima kasih kepadamu. Ayah janji kejadian ini tidak akan terulang lagi.”
Ibu Nilam tiba-tiba keluar dari kamar dan melihat apa yang terjadi. Mereka bertiga berpelukan dan bermunajat kepada Tuhan agar masalah-masalah dalam keluarga mereka segera berakhir.
-Selesai-