Pancasila Sudah Final!
Oleh:
Eki Piroza
Guru SMP Negeri 3 Kelapa Kampit
Editor:
Ares Faujian
Beberapa pekan ini sedang hangat di media massa atau obrolan warung kopi tentang isu RUU HIP (Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila) bahkan masuk menjadi PROLEGNAS (Program Legislasi Nasional 2020).
Adapun yang membuat kontroversialnya RUU ini dikarenakan ada beberapa pasal yang nilai banyak kalangan sangat mereduksi Pancasila sebagai Dasar Negara. Akhirnya karena desakan dari berbagai pihak, mulai dari ormas besar di Indonesia seperti NU dan Muhammadiyah serta beberapa tokoh bangsa lainya. Maka, pemerintah pun memutuskan untuk menunda membahasnya bersama DPR, dan meminta badan legislatif tersebut untuk menyerap aspirasi dan berdialog dengan masyarakat terlebih dahulu, karena pemerintah ingin fokus pada penangan COVID-19, sebagaimana tweet Menkopulhukam, Mahfud MD (16 Juni 2020).
Apa yang sedang terjadi tersebut adalah hal yang seharusnya tidak pernah terjadi. Apalagi setelah penulis membaca isi RUU HIP sudah bisa dipastikan akan sangat merubah subtansi Pancasila, dan memang seharusnya dalam proses penyusunan RUU ini melibatkan berbagai stakeholders terutama yang memiliki kompetensi di bidang Pancasila.
Penulis membuka berbagai literatur mengenai sejarah Pancasila dan pandangan dari Founding Father Indonesia kemudian melihat kebelakang, sejarah berdirinya Republik Indonesia yang bermula dari adanya kesadaran untuk merdeka yang ditandai dengan kebangkitan nasional, ditandai dengan berdirinya Boedi Oetomo 20 Mei 1908, dan kemudian hari semakin menuju kearah pembentukan negara yang merdeka dengan sidang BPUPKI (Dokuritsu Zunbi Tyoosakai).
Pada sidang resmi yang pertama BPUPKI membahas tentang Dasar Negara (28 Mei-1 Juni 1945). Selama sidang pertama ini mulai dari Moh. Yamin dan Mr. Soepomo bergantian menyampaikan Dasar Negara yang akan berdiri. Namun, masih saja terdapat perbedaan pandangan di antara tokoh-tokoh yang hadir terkait dengan Dasar Negara yang akan berdiri. Setelah itu, barulah pada pembicara ketiga Ir. Soekarno berhasil meyakinkan anggota BPUPKI untuk menetapkan Pancasila sebagai Dasar Negara karena dianggap menjadi jalan tengah dari berbagai kepentingan yang ada. Atas dasar itulah Pancasila menjadi ‘Konsensus Nasional’ bangsa Indonesia.
Seiring perjalanan waktu, sejarah membuktikan Pancasila sebagai Dasar Negara beberapa kali diuji. Dimulai dari beberapa pemberontokan yang terjadi di berbagai daerah.
Adanya gerakan Separatis (niat untuk memisahkan diri) ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap kesepakatan hidup bersama sebagai sebuah negara. Seperti pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo yang ingin membentuk Negara Islam di Indonesia, di mana pemberontakan tersebut berhasil ditumpas.
Namun, di antara banyaknya gerakan pemberontakan yang mengingkari Pancasila. Yang paling diingat adalah G30 S/PKI, sebuah gerakan yang sangat sistematis dan masif dilakukan oleh PKI untuk merubah arah negara. Pada akhirnya berbagai elemen masyarakat waktu itu bersama dengan TNI membalikkan keadaan dengan menumpas PKI bahkan sampai ditetapkan TAP MPR RI No. XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI, dan ditetapkan pula partai tersebut sebagai organisasi terlarang, serta larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunis di Indonesia. Sampai hari ini TAP MPR ini tidak penah dicabut, sehingga masih berlaku dan memiliki kekuataan hukum yang tetap.
Hari ini, kita masih melihat pertentangan tersebut masih terjadi. Berbagai ideologi lain mulai masuk ke lingkungan kita, dan ini merupakan salah satu dampak negatif dari globalisasi. Terlihat di ranah publik, kita masih banyak melihat begitu gandrungnya pemuda-pemuda kita dengan pemahaman yang sebenarnya sudah jauh dari akar budaya nusantara. Hal ini tercermin dalam pola pergaulan kekinian, apakah mengarah keliberal ataupun ke ranah yang lain.
Sungguh berat memang pekerjaan kita bersama, terutama pendidik yang mengampu mata pelajaran PPKn sebagai gugus terdepan memberikan pemahaman ideologi negara bagi generasi muda. Menurut penulis, langkah yang lebih relevan bagi bersama saat ini adalah lebih untuk membumikan Pancasila.
Kembali kepada konteks persoalan RUU HIP. Menurut penulis, daripada pemerintah (eksekutif dan legislatif) membuat tafsir baru mengenai Pancasila yang justru akan memantik gelombang penolakan yang lebih luas. Lebih baik bergandengan tangan dengan para stakeholders menyusun konsep untuk memperkuat membangun bangsa melalui Rancangan Undang-Undang Pedoman pembangunan Jati diri bangsa (Nation and Character Building). Terutama dalam menghadapi era globalisasi saat ini.
Tentunya dengan adanya RUU ini akan semakin luas cakupannya dan bukan hanya pada siswa saja, melainkan pada masyarakat yang lebih luas. Bagi lingkup pendidikan, RUU ini akan semakin menguatkan Permendikbud No. 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter dan Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.