Peduli Perubahan Iklim
Oleh:
Marlisa Ayu Trisia
Agent Leader The Climate Reality Project
Peneliti Universitas Nagoya Jepang
Editor:
Ares Faujian
Waktu saya kuliah S1 sekitar tahun 2006, ada soal ujian semester mengenai “Kyoto Protocol”. Ujiannya bersifat “open book” tapi saya sama sekali tidak bisa menjawabnya. Selain karena materi ini tidak pernah disampaikan di kelas, informasi mengenai “Kyoto Protocol” hanya bisa didapat dari koran dan berita televisi. Akhirnya karena dihantui rasa penasaran, saya mencari informasi mengenai apa itu Kyoto Protocol. Dari sini saya mengenal apa itu perubahan iklim (climate change) dan dampak negatifnya terhadap bumi.
Apa itu perubahan iklim?
Menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Kerangka Kerja Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC), perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan dari iklim yang disebabkan baik secara langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga mengubah komposisi dari atmosfer global dan variabilitas iklim alami pada periode waktu yang dapat diperbandingkan. Sedangkan komposisi atmosfer global yang dimaksud adalah komposisi material atmosfer bumi berupa Gas Rumah Kaca (GRK) yang diantaranya terdiri dari Karbon Dioksida (CO2), Metana (CH4), Nitrogen (N2O), dan gas berfluorinasi.
GRK memiliki kemampuan menyerap panas yang berasal dari radiasi matahari yang dipancarkan kembali oleh bumi, sehingga menyebabkan pemanasan atmosfer atau kenaikan suhu yang pada akhirnya menyebabkan perubahan iklim. Aktivitas manusia seperti penggunaan energi bahan bakar fosil, industrialisasi serta kegiatan alih-guna-lahan dan kehutanan menjadi pemicu utama peningkatan GRK sehingga terjadi pemanasan global yang berujung pada perubahan iklim.
Menurut data NOAA, suhu rata-rata di seluruh permukaan daratan dan lautan global di tahun 2018 adalah 0,79°C di atas rata-rata abad ke-20. Tahun 2018 juga termasuk tahun terpanas dalam kurun waktu 1880-2018. Begitu juga data dari BMKG menyatakan bahwa di wilayah Indonesia pada tahun 2018 merupakan tahun terpanas ketiga setelah tahun 2016 (0.8°C lebih tinggi dibandingkan dengan periode normal 1981-2010) dan tahun 2015 di peringkat kedua.
Panas yang ekstrim ini akan menguapkan air laut lebih banyak akibatnya hujan turun secara besar-besaran sehingga peluang terjadinya banjir menjadi lebih besar seperti yang terjadi di Jakarta dan Belitung akhir-akhir ini. Suhu yang tinggi juga akan mengangkat kelembapan tanah sehingga tanah menjadi lebih cepat kering. Akibatnya, kekeringan dan berkurangnya pasokan air bersih menjadi banyak terjadi di Indonesia termasuk di wilayah Belitung. Suhu panas yang ekstrim juga akan meningkatkan titik panas (hot spot) yang menjadi penyebab kebakaran.
Perubahan iklim menimbulkan ancaman signifikan bagi perekonomian, ketahanan pangan dan kesehatan. Menurut Kepala Dinas Ketahan Pangan dan Pertanian Kabupaten Belitung, 20 hektar sawah di Belitung alami kekeringan (Antaranews). Di Tanjungpandan, 3 hektar sawah mengalami gagal panen akibat kekeringan yang menyebabkan petani rugi hingga 90 juta (Pos Belitung). Daerah pesisir juga tidak luput dari dampak perubahan iklim yaitu abrasi akibat naiknya permukaan air laut dan pemutihan karang. Sedangkan dari segi kesehatan, peningkatan suhu juga dapat meningkatkan penyakit tropis yang dibawa oleh nyamuk seperti demam berdarah, malaria dan chikungunya.
Dari Kyoto Protocol hingga Perjanjian Paris
Untuk menghadapi dampak dari perubahan iklim, terbentuklah konvensi internasional yaitu Kyoto Protocol. Kyoto Protocol merupakan sebuah persetujuan internasional untuk mengurangi pemanasan global dengan komitmen bersama untuk mengurangi emisi GRK yang diadopsi di Kyoto (Jepang) pada tanggal 11 Desember 1997. Menyadari bahwa negara-negara industri maju yang bertangungjawab terhadap meningkatnya GRK di atmosfir. Protokol ini menempatkan beban yang lebih berat untuk negara-negara industri maju untuk menurunkan emisi GRK rata-rata sebesar 5.2% dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang periode 2008-2012. Termasuk bekerjasama dengan negara-negara berkembang. Indonesia turut serta dengan menandatangani Kyoto Protocol pada tahun 1998 dan meratifikasinya di tingkat nasional melalui Undang Undang Nomor 17 Tahun 2004.
Pada tahun 2015, Paris Agreement (Perjanjian Paris) disepakati untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2°C dari tingkat pra-industrialisasi dan melakukan upaya membatasinya hingga di bawah 1,5°C. Perjanjian ini berlaku efektif pada tahun 2016. Adapun pengimplementasiannya akan dimulai setelah tahun 2020 pasca komitmen periode kedua Kyoto Protocol selesai. Perjanjian ini juga diarahkan untuk meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim dan menyiapkan skema pendanaan untuk menuju pembangunan rendah emisi dan berketahanan iklim.
Berbeda dengan Kyoto Protocol, dimana jumlah persentase penurunan emisi GRK sudah ditentukan. Perjanjian Paris ini pun menawarkan pendekatan baru yang lebih fleksibel yaitu membebaskan penentuan angka penurunan emisi sesuai dengan kemampuan negara masing-masing. Indonesia sendiri telah meratifikasi Paris Agreement dengan terbitnya Undang Undang Nomor 16 Tahun 2016. Di sini Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri atau 41% dengan kerja sama internasional di tahun 2030. Angka tersebut diharapkan akan tercapai di sektor kehutanan, energi termasuk transportasi, proses industri dan limbah, serta pertanian.
Aksi peduli perubahan iklim
Salah satu pertanyaan besar yang saya tanyakan kepada diri sendiri setelah tahu apa itu perubahan iklim adalah maukah saya peduli? Pertanyaan ini kemudian membawa saya bertemu Al Gore, 13 tahun kemudian. Tepatnya pada bulan November 2019.
Al Gore adalah salah satu tokoh penting dalam climate change movement dan juga merupakan peraih Nobel Perdamaian dunia. Beliau merupakan wakil presiden USA periode 1993-2001 yang dikenal gencar berbicara mengenai masalah perubahan iklim. Beliau juga yang membantu menjadi perantara Kyoto Protocol meskipun USA menolak untuk meratifikasi Kyoto Protocol karena khawatir akan mengganggu kondisi pereknomian dalam negeri. Al Gore juga merupakan founder dari The Climate Reality Project yaitu organisasi nirlaba yang terlibat dalam pendidikan dan advokasi terkait perubahan iklim.

Saya merupakan salah satu peserta yang terpilih dalam program training leadership dari The Climate Reality Project di Tokyo, Jepang. Selama dua hari, saya belajar langsung dari Al Gore dan para pakar lapangan terkemuka tentang strategi untuk memperkuat aksi-aksi terkait perubahan iklim. Training ini juga menampilkan presentasi, diskusi panel, dan lokakarya tentang perubahan iklim yang berfokus pada ilmu pengetahuan termasuk juga cara-cara bagi masyarakat atau kelompok untuk mengkomunikasikan isu-isu kunci terkait iklim kepada berbagai pemangku kepentingan. Dari sini, saya berpikir saatnya bergerak untuk peduli terhadap perubahan iklim. Melalui Karya Muda Belitung, saya bekerjasama dengan SMA Negeri 1 Manggar untuk ambil bagian dalam acara “Join the Global Conversation, 24 Hours of Reality: Truth in Action” yang dilaksakan serentak di seluruh dunia pada tanggal 20-21 November 2019. Kegiatan ini bertujuan untuk mensosialisasikan tentang perubahan iklim di dunia, dampaknya dan cara mengatasinya. Jumlah peserta yang mengikuti acara ini kemudian dikonversikan sebagai jumlah pohon yang ditanam sebagai salah satu cara efektif untuk mengurangi perubahan iklim.


Saya juga ikut serta dalam acara “Global Climate March” pada tanggal 29 November 2019 di Nagoya, Jepang. Kegiatan ini bekerjasama dengan Fridays for Future sebagai bentuk aksi untuk menyuarakan situasi iklim yang sudah darurat. Kami membawa potongan kardus yang menyerukan kepedulian terhadap perubahan iklim. Saya sendiri membuat poster dengan tulisan “Save our home”. Selama aksi berlangsung, kami mengucapkan jargon “What do we want? Climate justice”, dan “When do we want it? Now”. Kegiatan ini berlangsung secara tertib dan teratur.


Selanjutnya di bulan Desember, saya juga ikut serta dalam kunjungan ke kota Yokkaichi untuk belajar bagaimana kota ini berubah dari kota dengan tingkat pencemaran udara dan air yang tinggi di tahun 1955 menjadi kota bebas polusi. Melalui anti-pollution movement program seperti pengunaan teknologi untuk mengurangi pencemaran dari pabrik-pabrik dan pembuatan sistem monitoring lingkungan kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan perusahaan, kota ini berhasil menjelma menjadi kota bebas polusi.

Mari kita peduli terhadap perubahan iklim
Cerita di atas adalah beberapa kegiatan yang saya lakukan untuk peduli terhadap perubahan iklim. Kegiatan lainnya seperti menanam pohon, melakukan daur ulang/3R (Reduce, Reuse dan Recycle), efektif dalam mengunakan kendaran yang berbahan bakar fosil serta memaksimalkan penggunaan energi alternatif seperti angin dan matahari adalah beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk menanggulangi perubahan iklim. Mari kita ikut peduli lingkungan dan jangan sampai kita menunggu sampai bumi benar-benar rusak. Ingat, berbagai bencana terkait perubahan iklim seperti banjir, kebakaran, abrasi dan kekeringan sudah kita alami bahkan tidak sedikit kerugian yang kita dapatkan. Untuk itu, ayo bersama kita jaga Belitung sebelum terlambat!