Pemberhentian Berikutnya
Oleh:
Bryant Hadinata
Setiap hari, saat jam selesai kerja, aku selalu menunggu di halte bis. Untuk pulang ke rumah. Setiap hari kerja, di tempat yang sama, di waktu yang sama. Jujur, sebenarnya setiap hari pula, aku selalu merasakan suatu perasaan. Perasaan hening, perasaan gelisah, perasaan yang dapat membuatku berkeringat dingin. Orang sering menyebut rasa ini dengan nama ‘takut’.
Aku takut. Mengapa? Aku juga tidak tahu.
Mungkin, aku hanya takut karena dunia ini terlalu besar. Mungkin aku hanya takut karena terlalu banyak orang yang bertegur sapa denganku. Mungkin aku terlalu takut dengan masa yang akan datang, karena masa lalu di mana aku pernah tersakiti dan tak sengaja menyakiti. Sangat, sangat takut. Seperti saat aku pernah tak sengaja menyakiti kakak perempuanku sendiri hingga ia pergi mengembara, mungkin. Di mana aku membenci diriku sendiri. Dan masa lalu kelam lainnya yang tidak seharusnya kuingat.
Apakah ini normal? Atau aku yang terlalu berlebihan? Apakah mereka pernah merasakan apa yang kurasakan ini? Ah, sudahlah. Lagipula untuk apa mereka peduli. Untuk apa juga aku peduli dengan mereka. Terkadang dunia ini penuh dengan kiasan belaka. Tampak baik, tapi kenyataannya pahit. Dari awal aku pun sudah tahu rasanya.
Setiap hari aku merenung tentang ini di halte bis yang sama, di saat yang sama. Di saat aku terus mengeluh, suatu hari, seseorang muncul di halte bis tempatku menunggu bis untuk pulang sendirian. Dia seorang gadis asing. Sepertinya aku pernah melihatnya. Tapi entah di mana. Aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas di tengah keramaian. Apa mungkin dia orang baru yang sedang tersesat. Atau mungkin dia sedang ingin mencari seseorang. Untuk apa juga aku peduli dengannya. Dia juga tidak mungkin kenal denganku. Ah, ini kebiasaan yang paling kubenci. Aku selalu saja memperhatikan orang di sekitarku.
Saat bis yang kutunggu telah datang, rupanya gadis asing berambut panjang yang mengenakan syal di lehernya itu juga menaiki bis yang sama denganku. Bis ini selalu saja sepi penumpang. Dan aku tidak pernah tahu di manakah pemberhentian terakhir bis ini. Memang lucu ya jika dipikir-pikir lagi. Yang aku tahu bis ini selalu sepi, sama seperti hidupku yang terlalu biasa-biasa saja.
Saat aku duduk, di saat itu juga lagi-lagi aku seperti terpaksa memperhatikan gadis asing itu. Dan ternyata beberapa menit kemudian, ia pun meminta untuk turun. Tiba-tiba, gadis itu tak sengaja melupakan syal berwarna merah di kursinya. Aku pun segera mengambilnya dan ingin memberikannya. Tapi gadis asing itu sudah terlanjur turun dari bis. Pintu sudah tertutup, roda bis kembali berputar.
Aku pun bingung harus bagaimana. Apalagi aku “tidak bisa berbicara” dengan orang-orang. Menjadi seorang tunawicara adalah hal yang paling aku sayangkan selama aku hidup. Tidak mungkin kan aku pakai bahasa isyarat dengan sopir. Pasti dia tidak akan mengerti. Apalagi ini sudah hampir malam. Pasti sopir itu telah mengalami hari yang cukup melelahkan.
Lagi-lagi aku pasrah di saat aku ingin membantu seseorang.
Keesokan harinya di saat yang sama dan di halte bis yang sama, aku berharap gadis asing yang kemarin dapat kutemui kembali. Beberapa menit menunggu hingga bisku datang, hingga langit senja semakin jingga, batang hidungnya sama sekali tidak tampak. Aku yakin, aku masih ingat wajahnya. Wajahnya yang oval, berambut hitam panjang, tubuhnya yang tampak mungil. Tapi aku tidak menemukannya.
Hari berikutnya, di saat yang sama dan di halte bis yang sama, lagi-lagi aku tidak melihat penampakan gadis asing itu. Aku rasa sudah saatnya aku mencarinya. Aku masih ingat tempat terakhir gadis itu turun. Aku pun memencet tombol berhenti di tempat itu dengan penuh harapan aku dapat menemukan gadis tersebut.
Saat aku turun, suasana sejuk menjelang malam menyambut dengan penuh kehangatan. Aku pun mulai mencarinya. Tetapi, aku bingung harus bertanya pada siapa. Tidak ada orang. Sepi. Sungguh sunyi seperti kota mati. Hanya ada suara jangkrik dan hembusan angin sore. Orang-orang sedang mempersiapkan makan malam di rumah mereka masing-masing. Sedangkan, aku sedang mencari seseorang yang mungkin tidak dapat kutemukan. Memang jika dipikir lagi, ini hanya syal. Kenapa aku harus peduli sekali? Lagipula, syal bukan barang yang sangat mahal berjuta-juta harganya. Tapi, ya inilah aku. Aku rasa sekecil apapun itu, ini tetap miliknya. Bagaimana jika syal ini ternyata adalah syal kesayangannya? Aku harus mengembalikannya. Lagipula, aku tidak berbuat salah kan?
Dengan perasaan yakin aku berjalan di sekitar tempat ini. Aku terus berjalan sampai aku pun tidak sadar ternyata ada padang sabana di wilayah ini. Langit malam, bulan yang terang walau berbentuk sabit, bintang-bintang yang penuh dengan harapan, dan tiupan angin beraroma rumput hijau menghiasi padang nan luas ini.
Baru saja aku kagum, tiba-tiba terdengar langkah kaki dari belakang. Saat aku menoleh, rupanya dia adalah gadis yang aku cari. Kali ini aku bisa melihat dengan jelas wajahnya. Aku terkejut. Tak bisa bergerak sedikit pun. Napasku mulai tidak teratur. Apa mungkin aku akan menangis? Gadis itu pun tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Ia mulai mengarahkan telunjuknya ke arahnya, tanda bahasa isyarat yang berarti “aku”. Dan ia mulai menggerakkan tangan kanannya ke dagunya. Berhenti sejenak. Aku pun sadar air mataku mulai tumpah. Lalu ia langsung menggerakkan tangan kanannya dari dagu, ke atas kepala.
Aku langsung memeluknya dengan erat. Isak tangis kami sudah tidak dapat ditunda lagi. Aku sangat senang sekaligus merasa sangat takut atas kejadian kami di masa lampau. Rupanya memang benar, aku mengenalnya. Gadis yang kucari selama beberapa hari ini, berhasil kutemukan. Aku pun memberikan syal merah miliknya. Tetapi, ia justru memasangkannya di leherku. Sungguh aku tertegun. Aku hanya bisa menangis dan meminta maaf. Di malam yang sunyi ini, dengan penuh bintang yang menyinari padang tepat kami berdiri, akhirnya aku masih bisa melihat kakakku, satu-satunya orang terkasih yang masih kumiliki.
*Cerpen