Pembicaraan 5 Bapak-bapak VIP
Oleh:
Bryant Hadinata
Semuanya sedang istirahat dan bersantai sambil berpikir keras. Tiba-tiba, seseorang muncul, “Hei, semuanya,” Pak Ibra memanggil dengan nada datar.
“Waduh, aku yakin banget, nih. Pasti kamu bawa kabar yang sama, nih. Kali ini berapa hasilnya?” tanya Pak Akong dengan wajah pesimisnya yang khas ditambah lagi dengan matanya yang sipit.
“Haduhh…, dari survei 1.000, Cuma dapat 3. Sudah ada umur semua,” jawab Pak Ibra lesu. Sambil duduk bersama 4 Bapak-bapak yang juga sedang duduk bersama, Pak Panna pun akhirnya mengeluarkan suara setelah hening berapa menit,
“Emang bagaimana dengan yang masih muda? Langit dan tanah ini luas, loh.”
“Haduhhh, palingan 2 dari 1001,” Pak Ibra semakin lesu. Kelima Bapak-bapak ini pun semakin berpikir keras.
Kemudian, Pak Adam ikut bergabung dengan topik yang selalu dibahas berulang kali ini, “Yaa, memang sulit, lah. Itulah kenapa kita terasa kayak pengangguran sekarang. Jangan sampai orang putih itu sedih lagi sama jawaban kita.”
Pak Made langsung menyambar, “Memang iya, sih. Jangan sampai. Tetapi, kalau kenyataannya emang kayak begini gimana?! Masa iya kita mau rekayasa? Bisa musnah roh kita sama bos besar.”
Suasana semakin memanas. Padahal, tidak ada yang harus disalahkan dari Bapak-bapak ini. Pak Akong lanjut ngobrol, “Setidaknya kita semua sudah berusaha mati-matian. Mungkin memang sulit. Tapi ya, mau gimana lagi. Zaman sekarang sudah jauh berbeda dengan dulu. Pokoknya sesuai rencana ya, Bapak-bapak. Kalau langsung ketemu, kita tandai. Kita segera catat dan beritahu orang putih asisten bos itu. Terus yang buruk itu, kita abaikan aja. Udah biarin aja. Biar kawan kita yang lain yang catat. Kalau bisa, kita berusaha bikin yang jelek itu jadi bagus lagi kayak asalnya.”
Pak Ibra langsung memotong, “Asalnya memang bagus. Tapi kalau emang sebenarnya mereka lupa diri, gak tahu diri, sengaja gak bisa membedakan segalanya, atuh gimana? Mereka tahu gak, sih? Bos kita termasuk kita sendiri yang hampir nyerah gini, tuh maunya mereka mengerti? Ini gara-gara perkembangan zaman, nih. Makanya lingkungannya makin, ahhh, pening kepalaku.”
Tiba-tiba, nada Pak Panna meninggi, “Itulah kenapa kita semua dan kawan kita diutus ada untuk mereka, Pak. Mereka itu hanya sedang tertutup oleh debu-debu tak kasat mata, Pak. Kalau kita bersihkan nanti juga sesuai yang kita harapkan. Terus kita pertahankan yang berkualitas itu. Selesai. Intinya jangan sampai mereka melupakan bos kita. Gawat, lah itu kalau sampai lupa. Bos kita pasti langsung ngurus semuanya sendiri. Kan kasihan mereka. Mereka hanya lupa…yakin saya.”
“Benar itu. Kalau yang udah bagus selalu kita ingatkan, yaa walaupun sudah berkali-kali ditanam benih bagusnya, sih. Pasti semua bisa kena pancarannya,” sambung Pak Adam dengan optimismenya.
Tak lama, seseorang dengan pakaian serba putih pun menghampiri 5 Bapak-bapak itu. Dia adalah orang putih yang dibahas kelima Bapak-bapak tadi. Dia juga merupakan seorang asisten bos yang dibahas tadi.
“Salam semuanya. Apa kabar? Saya sudah dapat membaca kejengkelan kalian semua.”
Pak Ibra pun buka suara lagi, tapi kali ini dengan meredam emosinya tadi yang kecewa dengan hasil pencariannya, “Saya rasa sudah jelas. Kita semua hampir tidak tahu harus berbuat apalagi. Ngomong-ngomong, gimana kabar bos?”
Pria tampan dengan pakaian serba putih itu menjawab sambil tersenyum, di mana senyumannya akan membuat semua lawan jenis tergila-gila, tidak terkecuali. Ia berkata sambil menghela napasnya, “Ah, bos tentu selalu baik-baik saja seperti biasa. Sedang sibuk mengurus tugasnya. Tetapi, sudah jelas, bos masih memiliki rasa kecewa yang cukup besar.”
Pak Akong menyambung, “Kita semua akan terus berkorban tenaga. Pokoknya demi bos kita. Kita gak mau bos kita sampai sedih minta ampun. Jangan sampai. Jika bos sampai sedih luar biasa, maka tidak mungkin kita tidak menangis.”
“Itu benar. Semuanya sudah diatur seimbang. Pasti kita bisa mempertahankannya. Karena kita sama-sama bergotong royong. Tapi yaa, hasilnya itu yang fluktuasi terus,” Pak Made berusaha menjelaskan.
Pria berwajah tampan itu kembali tersenyum sumringah, seperti biasanya, lalu berkata, “Haha, kalian adalah orang-orang yang penting. Karena itulah, kalian sangat dibutuhkan. Kalau ada apa-apa yang sudah di luar batas, panggil saya. Baiklah, saya pamit dulu. Ada hal yang harus saya urus. Terima kasih semuanya.”
Kelima Bapak-bapak itu pun melambaikan tangan pada pria tampan berpakaian putih tersebut. Kemudian, Pak Adam kembali berbicara, “Baik. Mari kita lanjut penelitian.”
“Siap. Kali ini kita harus berusaha semaksimal mungkin,” Pak Ibra pun berpesan.
Semua Bapak-bapak pun mengangguk dan langsung pergi ke peran mereka masing-masing, bersama dengan kawan lainnya. Mereka terus berusaha mencari hasil yang baik. Walaupun banyak hasil yang baik, tetapi tetap saja sulit untuk mengumpulkannya karena masih banyak sekali yang buruk. Tetapi, Bapak-bapak ini yakin bisa terus mempertahankan keseimbangan dunia. Tidak heran kawan-kawan mereka menjuluki mereka berlima sebagai Bapak-bapak VIP.
*Cerpen