Pengaruh Broken Home terhadap Kesehatan Mental Anak
Oleh: Floren Tika Diansyah
Siswa Kelas Sosioliterasi G4 SMAN 1 Manggar
Editor: Bryant Hadinata
Masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan fenomena banyak keluarga broken home karena masalah dan issue yang bentuknya bermacam-macam (Sholeha & Pratiwi, 2021). Broken home sering disebut sebagai kondisi keluarga yang tidak utuh atau harmonis kembali, dimana orang tua dari keluarga tersebut diduga telah berpisah (Ardilla & Cholid, 2021). Namun, keluarga yang disfungsional atau keluarga dimana orang tua tidak dapat berkembang sepenuhnya menjadi orang tua juga disebut sebagai keluarga yang rusak, dan tidak hanya terkait dengan perceraian atau perpisahan, akan tetapi mengarah pula pada bubarnya sebuah keluarga yang lebih besar.
Fenomena banyak timbul keluarga broken home yang menimbulkan berbagai dampak negatif telah menimbulkan stigmatisasi di masyarakat bahwa, anak-anak dari keluarga broken home adalah anak bermasalah yang sering melakukan tindakan penyimpangan sosial atau kenakalan remaja.
Menurut Willis (2015) dalamWulandari & Fauziah (2019), keluarga yang retak didefinisikan sebagai keluarga yang kehilangan perhatian keluarga atau kurangnya kasih sayang dari orang tua. Ini bisa menjadi akibat dari perceraian, dalam hal ini anak hanya memiliki hubungan biologis dengan salah satu orang tua. Broken home dapat dilihat dari dua sudut pandang: (1) Keluarga yang terpecah belah karena struktur yang tidak utuh lagi karena kematian atau perceraian; dan (2) Orang tua yang tidak bercerai, tetapi sering absen dari rumah atau kekurangan interaksi kasih sayang yang telah menyebabkan struktur keluarga hancur. Broken home memengaruhi remaja dan juga anak-anak, ketika itu terjadi dalam sebuah keluarga. Broken home dapat terjadi karena berbagai alasan, seperti ketidaksepakatan yang mengarah pada pertengkaran fisik atau bahkan keputusan untuk berpisah.
Beberapa alasan atau penyebab munculnya keluarga broken home adalah orang tua bercerai atau berpisah, budaya yang bisu pada keluarga, dan perang dingin yang dapat terjadi pada keluarga. Perpisahan adalah yang terbaik bagi mereka dan buruk bagi anak-anak karena ada pertengkaran dan pertengkaran antara suami dan istri di rumah (Muttaqin & Sulistyo, 2019).
Rumah tangga yang rusak bisa disebabkan oleh faktor internal dan eksternal, tetapi jika masalah internal telah diselesaikan, masalah eksternal apa pun yang mungkin ada dapat diatasi. Komunikasi yang tertutup, egosentrisme, materialisme, kesibukan, kurangnya pemahaman, dan kehadiran orang luar merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya broken home. Selain itu, faktor ekonomi juga memicu adanya pertengkaran yang berakibat pada perceraian (Mahendra et al., 2022). Akibat keluarga broken home,banyak dampak yang dapat memengaruhi anak remaja, seperti kesehatan pada remaja.
Beberapa faktor dapat timbul karena adanya keluarga broken home pada remaja, yaitu prestasi belajar dari remaja menurun drastis, mengalami banyak kesulitan yang mereka hadapi pada saat belajar di sekolah atau di rumah, tidak bisa fokus dan akan menyebabkan remaja sulit untuk menerima pelajaran yang diberikan, kemudian remaja itu akan menjadi pendiam yang cenderung menyendiri dan tidak mau bergaul, terlebih lagi anak tersebut suka melamun.
Broken home menjadi faktor pemicu timbulnya penyimpangan sosial yang dilakukan oleh remaja yang broken home. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa remaja dari keluarga broken home akan terlibat dalam perilaku sosial yang konstruktif, karena di masa lalu, remaja dari keluarga broken home juga mampu mengembangkan rasa moralitas dan nilai-nilai lain melalui pendidikan (prestasi dan aktif kegiatan sekolah). Pola pengasuhan dan pengajaran orang tua selama masa kanak-kanak juga berkontribusi pada pembentukan perilaku sosial, apakah itu menguntungkan atau merugikan (Sholeha & Pratiwi, 2021).
Ada banyak dampak dari keluarga yang broken home, dan salah satunya dapat merugikan pertumbuhan sosial dan emosional anak (Mahendra et al., 2022). Akibat broken home dapat membuat remaja mengalami depresi dan mental yang rendah. Dalam segi kejiwaan atau psikologi, dinyatakan bahwa setiap orang yang mengalami broken home juga akan mengalami patah hati. Hati seseorang tersebut bisa saja terus-menerus dipenuhi dengan penderitaan, kekecewaan, keputusasaan, dan yang percaya bahwa hidup tidak ada artinya. Berdasarkan itu, seseorang mungkin mengalami krisis cinta dan mengembangkan kecenderungan seksual yang aneh (Ardilla & Cholid, 2021).
Berdasarkan Mahendra et al. (2022), menyatakan bahwa keluarga broken home lebih cenderung mengakibatkan dampak yang negatif, antara lain seperti rendah dan kurangnya kasih sayang orang tua, self-esteem atau rasa percaya diri rendah, regulasi emosi yang rendah, dan tingkat bersosialisasi yang rendah. Psikologi remaja dan harga diri yang keduanya dipengaruhi oleh perceraian keluarga. Harga diri yang rendah akan berkontribusi pada kegagalan, seperti kecemasan dan penolakan yang sepenuhnya diungkapkan.
Selain memiliki harga diri yang rendah, anak-anak tersebut juga sering bergumul dengan pengendalian emosi. Remaja dari keluarga broken home sering kali menarik diri dari lingkungan sosialnya, karena merasa malu dengan keadaan keluarganya dan kesal terhadap teman-temannya yang selalu mendapat perhatian penuh dari orang tuanya. Remaja dari rumah yang hancur masih belum dapat mengekspresikan emosi mereka dengan tepat. Sehingga dalam hal ini, mereka memiliki kesehatan mental yang kurang baik.
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa broken home dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti faktor ekonomi, kurangnya komunikasi, kurangnya pemahaman dalam keluarga, dan lainnya. Akibat broken home, dapat berpengaruh terhadap kesehatan mental remaja, yakni remaja sering menyendiri dan melamun, tingkat belajar rendah, regulasi emosi rendah, percaya diri rendah, serta tidak dapat fokus.
Berdasarkan kesimpulan tersebut, dapat disarankan kepada orang tua untuk lebih memperhatikan anaknya dan lebih sering melakukan komunikasi. Dalam pertengkaran orang tua, sebaiknya tidak ditunjukkan kepada anak remaja. Orang tua harus saling terbuka satu sama lain dan mencari solusi yang baik agar tidak mencapai perceraian, karena memang dalam keluarga tidak selalu tentram dan nyaman, tetapi juga terdapat perselisihan dalam pendapat. Akan tetapi, hal itu bukanlah suatu masalah yang tidak terpecahkan, sehingga perlu adanya komunikasi efektif yang menghasilkan solusi bagi orang tua agar perceraian tidak terjadi, yang dapat mengakibatkan kesehatan mental remaja terganggu.
Referensi:
Ardilla, & Cholid, N. (2021). Pengaruh broken home terhadap anak. Studia: Jurnal Hasil Penelitian Mahasiswa, 6(1), 1–14.
Mahendra, J. P., Rahayu, F., & Ningsih, B. S. (2022). Dampak Keluarga Broken Home Terhadap Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia 5-6 Tahun ( Studi Kasus Di Tk Sedesa Tegal Maja Lombok Utara ). 7(2), 562–566.
Muttaqin, I., & Sulistyo, B. (2019). Analisis Faktor Penyebab Dan Dampak. Jurnal Raheema:Jurnal Studi Gender Dan Anak, 6 No.2, 245–256.
Sholeha, P. M. I., & Pratiwi, T. I. (2021). Pengaruh resiliensi remaja broken home terhadap perilaku sosial antar teman sebaya. Jurnal Unesa, 12(2), 1–13.
Wulandari, D., & Fauziah, N. (2019). Pengalaman Remaja Korban Broken Home (Studi Kualitatif Fenomenologis). Jurnal EMPATI, 8(1), 1–9. https://doi.org/10.14710/empati.2019.23567