Perspektif Gender Terhadap Pendidikan
Oleh: Mangifera Indica J.*
Editor: Ares Faujian
Gender? Siapa yang tidak pernah mendengar kata-kata gender di kehidupan masyarakat? Kadang, banyak masyarakat menganalogikan atau mengartikan gender identik dengan jenis kelamin dan juga dipandang oleh masyarakat sebagai suatu kodrat yang di bawah sejak lahir. Namun, pada dasarnya gender merupakan sebuah konstruksi yang dibangun berdasarkan pola pikir masyarakat terhadap pandangan mereka kepada peranan, hak, dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, yang cenderung membentuk sebuah ketidaksetaraan atau lebih dikenal sebagai bias gender. Jenis kelamin sendiri pada dasarnya merupakan sebuah sifat given, sedangkan gender merupakan sebuah pola pikir masyarakat di dalam memandang perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Istilah gender diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Gender sendiri dibangun oleh asumsi-asumsi yang melekat di dalam masyarakat yang menyebabkan terjadinya perbedaan peranan, hak, kewajiban serta tanggung jawab di dalam struktur masyarakat. Kebudayaan patriarki memandang bahwa perbedaan biologis adalah indikator yang membentuk batasan di dalam hak, akses, partisipasi, kontrol, dan menikmati segala kebebasan di dalam lingkungan masyarakat.
Kontruksi gender terhadap pendidikan pada dasarnya memberikan berbagai macam dampak yang bisa mempengaruhi kedudukan, kesetaraan dan peranan laki-laki maupun perempuan di dalam konteks pendidikan. Perbedaan di dalam pendidikan sendiri pada dasarnya bukan disebabkan oleh jenis kelamin, melainkan perbedaan kesempatan dan kesediaan pengembangan potensi yang dipengaruhi oleh kontruksi gender itu sendiri. Yang mana, hal ini menyebabkan berbagai macam permasalahan yang berdampak terhadap kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam dunia pendidikan.
Bias gender di dalam pendidikan sendiri pada dasarnya terbentuk karena adanya sebuah kebijakan atau kondisi yang memihak atau bahkan merugikan salah satu jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini seperti pada ketidaksetaraan gender karena adanya otoritas orang tua terhadap anaknya di dalam pemilihan jurusan ataupun kampus, dimana tidak jarang adanya peran orang tua yang mengatur anak di dalam menetapkan pilihan jurusan.
Contohnya, seorang anak perempuan yang ingin memilih jurusan teknik mesin pada sebuah kampus karena minat dan keinginannya untuk berkontribusi di dalam jurusan teknik. Namun pilihan tersebut terhalang oleh otoritas yang dilakukan oleh orang tua, yang disebabkan oleh kontruksi yang dibangun dalam masyarakat yang menyatakan jurusan teknik mesin lebih cocok untuk anak laki-laki dan seorang perempuan tidak seharusnya memilih jurusan tersebut. Maupun sebaliknya, disaat seorang anak laki-laki memilih jurusan tata rias ataupun tata busana maka akan menjadi buah bibir bagi masyarakat di sekeliling tempat tinggalnya. Hal inilah yang menjadi salah satu pembatasan terhadap perempuan dan laki-laki yang menyebabkan terjadinya ketidaksetaran gender dalam dunia pendidikan.
Adapun contoh lainnya di dalam otoritas yang dibangun oleh orang tua yakni, mendorong ataupun mewajibkan anak perempuan mereka untuk menikah di usia muda. Yang mana, secara tidak lansung perihal ini merupakan sebuah pembatasan hak perempuan di dalam usahanya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas dirinya melalui pendidikan.
Pada sisi lainnya, ranah ekonomi juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh di dalam gender, yakni menyebabkan terjadinya sebuah ketidaksetaraan gender terhadap perempuan di dalam pendidikan. Salah satu kesimpulan penting yang dikemukakan oleh Suleeman bahwa salah satu faktor ketidaksetaraan gender di dalam pendidikan yakni dikarenakan kemiskinan yang dapat menghambat seseorang bersekolah, khususnya perempuan.
Selanjutnya, adanya persepsi terhadap kedudukan perempuan di dalam sebuah keluarga yang dianggap sebagai prioritas kedua setelah anak laki-laki. Sebagai contohnya, kekurangan atau keterbatasaan ekonomi membuat orang tua lebih mengutamakan, mementingkan, serta memprioritaskan laki-laki di dalam mengenyam ataupun menempuh pendidikan. Hal ini dilakukan karena mereka beranggapan bahwa setinggi apapun pendidikan seorang perempuan, maka mereka akan kembali ke sumur, dapur dan kasur. Hal inilah yang menjadi kontruksi yang membuat keterhambatan dan keterbatasan perempuan di dalam mengenyam pendidikan.
Terakhir, yang berpengaruh juga terhadap ketidaksetaraan gender ialah faktor lingkungan. Dimana lingkungan mampu melahirkan sebuah persepsi, padangan serta nilai-nilai yang berlaku di dalam kehidupan sosial budaya masyarakat, terlebih lagi sebuah daerah yang memegang teguh akan nilai-nilai kearifan lokal. Sebagaimana fakta yang menjelaskan di tengah-tengah masyarakat yakni, adanya sebuah konsepsi atau persepsi bahwasannya perempuan itu lemah dan laki-laki itu kuat. Tidak hanya itu, hal ini ditambah dengan pola pembagaian kerja yang dilakukan orang tua pada saat anak masih kecil yang menekankan perempuan harus membantu segala pekerjaan rumah seperti mencuci, memasak, dan lain sebagainya. Sedangkan laki-laki lebih ditekankan pada pekerjaan di luar rumah seperti membantu di sawah, mengambil air dan lain sebagainya.
Hal ini merupakan sebuah asumsi dan kontruksi yang dibentuk bukan berdasarkan aturan yang berlaku, melainkan sebuah nilai-nilai sosial yang sudah terkontruksi di dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh sosial budaya, yakni nilai kearifan lokal di dalam sebuah daerah. Kontruksi inilah yang terus berkembang dan menjadi sebuah warisan yang secara terus-menerus dipertahankan di dalam pola pikir masyarakat dari generasi ke generasi.
Namun seiring perkembangan, kontruksi yang terbentuk di dalam lingkungan masyarakat tersebut haruslah kita ubah, terutama di dalam dunia pendidikan. Dimana peranan, kedudukan, serta hak baik laki-laki maupun perempuan itu sama, tidak ada lagi pembatasan terhadap pemilihan jurusan, tingkat pendidikan maupun memprioritaskan laki-laki di dalam pendidikan. Hal ini yang akan membentuk sebuah kesetaran, keseimbangan serta kebebasan di dalam dunia pendidikan, guna meningkatkan kualitas dan kuantitas di dalam upaya pembangunan sebuah daerah dan negara.
Salah satu upaya untuk mengubah kontruksi masyarakat yakni dengan melahirkan sebuah feminisme, yang bertujuan untuk menghancurkan dan merubah nilai di tengah masyarakat. Hal ini dilakukan karena ketidaksetujuan akan budaya patriarki yang lahir dan terbentuk dari keluarga serta lingkungan sosial budaya, yang menyebabkan terjadinya ketidaksetaraan dan ketidakseimbangan gender.
Ketimpangan perempuan dan laki-laki terjadi dalam berbagai bidang. Salah satunya dalam ruang lingkup pendidikan. UUD 1945 mengamanatkan, bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama di dalam pembangunan termasuk terhadap bidang pendidikan. Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, mendukung kesetaraan pendidikan yang menjamin hak perempuan untuk memperoleh pendidikan, dalam pasal 48; “wanita berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah di tentukan”. Pada Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan bahwa, sistem pendidikan harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global.
*Penulis adalah mahasiswa Pend. Sosiologi dan Antropologi Universitas Negeri Padang (UNP)