Rapuh
Oleh: Indy Auliarizky
Siswa SMPN 2 Manggar
Editor: Ares Faujian
Aku Karina, tepatnya Karina Arabella Arsenio. Aku seorang pelajar menengah pertama. Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Aku adalah anak perempuan satu-satunya di keluarga Arsenio.
Kakak pertamaku bernama Kaivan Arsenio dan kakak keduaku bernama Sagara Arsenio. Kami lahir dari pasangan Valerio Sandero Arsenio dan Angelina Alora. Papaku adalah CEO dari perusahaan Zero Corporation, yang merupakan suatu brand bahan baju yang sangat terkenal. Sedangkan mamaku adalah dokter ahli bedah di rumah sakit ternama, Lindenhofspital.
Orang tuaku memiliki pekerjaan yang mapan, kehidupan kami serba tercukupi, terlebih lagi orang tuaku selalu menyempatkan diri untuk aku dan saudara-saudaraku. Namun, aku ingin seorang adik perempuan yang bisa menjadi teman bermain.
“Ma, aku ingin mempunyai adik perempuan” ucap Karina kepada mamanya sambil menghabiskan makan malam.
“Kok tiba-tiba sekali?” jawab Mama kaget.
“Iya, ada apa?” sahut Papa.
Kakakku hanya diam sembari mendengarkan percakapan kami.
“Aku ingiiiinnnn sekali punya adik, sepertinya itu asik dan aku pun jadi ada teman bermain” jawabku riang sambil tersenyum lebar.
Mamaku diam, lalu berkata,
“Hmm, bagaimana Kaivan dan Sagara? Apakah kalian mau mempunyai adik lagi?” tanya mamaku kepada kedua kakakku.
“Mauu dongg!” jawab kedua kakakku serempak.
“Ya udah, bagaimana Pa?” tanya mamaku kepada Papa.
“Iya, kami usahakan.” jawab Papa.
“YEYYYY ASIKKKK!” jawab kami kegirangan.
Aku mendambakan adik yang secantik mama dan sebaik papa, sayang kepadaku dan sayang kepada kakak-kakakku. Selain itu, kita bakalan bermain bersama dan menghabiskan waktu luang. Pokoknya, kita tak kan terpisahkan.
***
Lima bulan kemudian mamaku dinyatakan hamil, dengan usia kandungan menginjak satu bulan. Aku dan saudara-saudaraku sangat senang sekali. Papa pun tidak percaya akan berita ini dan senang sekali. Mama tersenyum melihat kami sangat bahagia.
Tanpa pikir panjang, kakak-kakakku mengajak papa dan mama untuk membeli banyak baju serta perlengkapan bayi, seperti mainan, alat mandi, alat makan, dll. Aku pun tak kalah semangat, segera menghiasi ruangan menjadi bernuansa feminim, yang nanti akan digunakan sebagai tempat kami bermain bersama. Konyolnya, kami belum tahu adiknya perempuan atau laki laki. Tapi kami berharap adiknya perempuan.
Delapan bulan kemudian, Rabu siang, mama sedang menjaga rumah sendiri. Mama bersantai di ruang keluarga, sambil bermain ponsel dan menikmati teh hangat. Tiba-tiba saja mama mengalami kontraksi, yang bertanda akan melakukan persalinan.
Mama mengalami pendarahan cukup hebat. Tapi tidak ada yang bisa membantunya pada saat itu. Papa bekerja, sedangkan aku dan kedua kakakku sedang bersekolah. Mama sendirian di rumah yang sebesar itu. Asisten Rumah Tangga (ART) kami pada saat itu pun sedang mengambil cuti untuk pulang kampung. Tapi untungnya pintu ruang tamu terbuka, dan satpam rumah mendengar teriakkan kesakitan mama.
Satpam segera mendekati mama yang sudah lemas dengan banyak darah mengalir keluar. Satpam pun segera menelpon ambulan. Lima belas menit kemudian ambulan pun akhirnya datang dan segera membawa mama ke rumah sakit, tempat Mama bekerja.
Pihak rumah sakit segera menelepon papa. Kami ketiga bersaudara juga mendapatkan informasi tentang keberadaan mama sekarang.
Setelah pulang sekolah, aku pun bergegas merapikan barang bawaanku dan berangkat menggunakan mobil dengan Kak Kaivan dan Kak Sagara. Aku sangat khawatir namun senang. Akhirnya, aku akan bisa ketemu dengan adik yang telah lama didambakan. Batinku berkata seperti apa ya rupanya? Pasti lucu sekali.
Setelah menempuh perjalanan dua puluh menit, akhirnya kami sampai di rumah sakit Lindenhofspital. Di sana sudah ada Papa yang menunggu.
“Bagaimana Mama, Pa? Sudah keluar adiknya?” tanya kami bertiga.
“Mama di dalam ruangan, mungkin sebentar lagi keluar, sabar ya nak.” jawab Papa sembari memeluk kami bertiga.
Tak lama, pintu ruang ICU terbuka. Aku melihat seorang wanita dengan baju hijaunya yang nyaris tak tampak karena tertutup oleh merah pekat darah. Perlahan ia mengusap darah di tangannya, bajunya dan membuka masker yang ia kenakan.
“Pak Sandero? Suami Bu Angelina?” tanya wanita itu.
“Iya, bagaimana, dok?”
“Saya memiliki kabar baik maupun kabar buruk.” jawab dokter itu sambil menghela napas.
“Kabar baiknya, anak Anda lahir dengan selamat, dia berjenis kelamin perempuan.”
“Syukurlah, adiknya perempuan, Pa,” jawabku kegirangan.
“Iya, lalu kabar buruknya?” tanya papa dengan muka cemas.
“Maaf kami tidak bisa menyelamatkan Bu Angelina,” jawab dokter itu dengan raut muka sedih.
Seketika tubuhku lemas. Kedua kakakku mengeluarkan air mata. Aku terduduk di atas dinginnya lantai rumah sakit dan tak berdaya. Pikiranku berlari tak jelas.
“Apa yang terjadi? Bagaimana ini bisa terjadi? Apa yang akan ku lakukan?”
Tanpa kusadari, air tangisan mengalir membasahi pipi, tanpa tanda apapun. Hatiku terasa sakit. Luka di dalam yang entah bagaimana menyembuhkannya, dan perih pada pita suaraku yang menolak untuk mengeluarkan satu kata pun. Muncul satu kata dari hatiku. Kenapa?
Aku melihat punggung Papa yang sedang lari menghampiri jasad Mama di Ruang ICU. Aku dan kedua saudaraku mengumpulkan semua tenaga terakhir yang dimiliki untuk mengikuti Papa memasuki ruang yang sama dan untuk terakhir kalinya memeluk Mama.
“Selamat tinggal Ma, semoga kau diterima di sisinya…”
***
Satu bulan telah berlalu, Papa mulai memaksakan diri untuk kembali bekerja. Bagaimana denganku? Aku masih terjebak dengan kegalauan ini, menatapi ranjang goyang adik yang baru bergabung menjadi keluarga baru kami. Bagaimana nasib kedua kakakku? Entahlah, kurasa mereka terlihat seperti orang yang linglung setelah kepergian Mama.
Siapa nama adikku ini? Bahkan aku tidak mengingatnya. Apakah aku membenci adikku? Entahlah, yang kurasakan hanyalah kekosongan.
Aku mendekati ranjang goyang adik. Kuintip ke dalamnya dan melihat dirinya tertidur pulas. Sempat terbesit dalam benak ku kata-kata ‘lucu’. Ya, inilah peninggalan Mama, seorang adik perempuan cantik yang namanya Zoey Alora. Ya, Alora nama panjang mendiang Mama.
***
Dua tahun berlalu, adikku sudah bisa jalan. Dia sangat cantik, mirip seperti mama.
Suatu hari kami sedang berkumpul di ruang tamu, dengan Zoey yang sedang tertidur di kamarnya.
“Karina, Kaivan, Sagara. Papa tidak sanggup hidup tanpa mamamu, berkali-kali Papa memikirkan untuk hidup hanya dengan kalian berempat. Tapi pemikiran tersebut membuat Papa semakin sedih. Papa tidak mampu melakukannya. Karena itu Papa melakukan ini.”
Saat itu, aku melihat papaku menitikkan air mata. Aku melihat Papa yang biasanya ceria dan selalu memberiku semangat, kini terkujur lemah, dan menangis memohon minta maaf pada kami.
Aku pun menggenggam tangannya, yang kini putih pucat dan sedingin es, lalu menaruhnya di samping pipiku yang dibasahi oleh tangisan air mataku.
“Papa. Karina, Kak Kaivan dan Kak Sagara tidak akan memaafkan Papa kalau Papa meninggalkan kami. Pa, jangan pergi…”
Aku tersenyum kembali ke arahnya. Siapa yang akan menyangka bahwa itu adalah senyuman terkahirnya kepadaku. Karena saat malam itu pula, Papa memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, meninggalkan Karina, Kaivan, Sagara dan Zoey. Meninggalkan kami berempat sendiri, yatim piatu.
***
Dua puluh tahun kemudian, seorang wanita dengan rambut panjang bergelombang sedang duduk merangkai mahkota bunga di tengah-tengah ladang bunga lavender. Lalu, wanita tersebut berdiri, membersihkan sisa-sisa kelopak bunga yang berjatuhan di atas gaun putihnya dan menggunakan mahkota tersebut di atas kepalanya.
“Kak, lihatlah aku, aku seorang ratu.”
Wanita itu memutar badannya dan menghampiri seorang wanita lainnya di bawah pohon, sembari tersenyum lebar. Ia menghampiri wanita yang berada di atas kursi roda tersebut, yang hanya dapat menatap dirinya dengan tatapan kosong dan tidak pernah menjawab perkatannya sama sekali.
Wanita yang bergaun putih itu adalah Zoey, dan wanita di bawah pohon itu adalah Karina. Lalu, bagaimana nasib Kaivan dan Sagara? Kaivan dan Sagara mengambil alih perusahaan papanya, karena itu adalah warisan untuk mereka berdua.
Keluarga keturunan kerajaan Liechtenstein Eropa ini akhirnya menjalani kehidupan mereka masing-masing, setelah ayah dan ibu mereka tiada. Setahun sekali keempat bersaudara ini menggelar upacara kematian di internal keluarga, tepat pada saat tanggal meninggal ibu dan ayah mereka, 17 Agustus.
-Selesai-
Ilustrasi: fanpop.com