Refleksi Kontekstual Pemikiran Sang Ki Hadjar Dewantara (Bagian 2-Terakhir)
Oleh:
Ares Faujian, S.Pd.*
.
Linieritas Kekuatan Sosiokultural di Belitung
Secara umum, ada 2 hal linieritas kekuatan sosiokultural dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara (KHD) di pulau Belitung ini. Pertama, dalam konteks sosial lokal, yaitu perilaku toleransi yang tinggi antarumat beragama dan etnis sebagai wujud berkebinekaan global. Hal ini dibuktikan dengan:
- Akulturasi dan atau asimilasi dalam pernikahan beda keyakinan maupun etnis;
- Tempat-tempat ibadah yang berbeda agama namun saling berdekatan;
- Lingkungan pertemanan yang tidak eksklusif (tidak pilih-pilih).
Dengan latar belakang seperti ini, sikap toleransi yang tinggi menjadi suatu keselarasan dengan filosofis pemikiran KHD di pulau Belitung (Belitong). Karena itu, guru sebagai pendidik bersama sekolah memberikan keterbukaan ruang gerak kepada peserta didik untuk mengoptimalkan kodrat alam dan kodrat zamannya.
Kedua, konteks budaya lokal, yakni penebalan kodrat anak dalam konteks lokalitas Belitong di sekolah bisa dilaksanakan dengan tradisi makan bedulang misalnya. Karena dalam tradisi ini terdapat konektivitas filosofi budi pekerti KHD dalam bingkai kearifan lokal daerah.
Dalam adat Melayu Belitong, makan bedulang adalah tradisi makan bersama orang Belitung yang disajikan di atas dulang, dengan menu makanan tradisional khas Belitung. Makan bedulang biasanya dinikmati oleh 4-5 orang dalam satu dulang, dengan posisi makan duduk saling berhadapan dan mengelilingi dulang (tampah bundar) yang berada di tengahnya. Penyajian makan bedulang menggunakan tampah yang ditutup tudung saji dan di dalamnya berisi 6-7 piring makanan tradisional khas Belitung.

Sumber: https://www.voltagetour.com/
Menu makanan tradisional Belitung yang sering disajikan dalam bedulang, yaitu ayam bumbu ketumbar, ikan panggang, sambal nanas, sambal goreng ati ayam, sate ikan, gangan Belitung atau bisa juga menu yang berbeda sesuai pesanan. Keunikan lainnya ada pada proses makan bedulang, yaitu orang yang paling tua membuka tudung saji dan yang muda membagikan piring ke anggota lain. Ini merupakan simbol penghormatan yang muda kepada yang tua. (Dinas Pariwisata Belitung, 2021)
Dilansir dari grid.id (Ristiani Theresa, 2022), tradisi makan bedulang memiliki keterikatan erat antara sistem sosial dan ekologi pulau Belitung. Filosofi makan bedulang adalah rasa kebersamaan dan saling menghargai antaranggota keluarga maupun masyarakat.
Sumber: Takiya Kun, 2020
Makan bedulang dapat dilaksanakan berbagai tempat, termasuk di sekolah. Dalam penguatan karakter “budi pekerti” pemikiran KHD pada Profil Pelajar Pancasila peserta didik di sekolah, esensi tradisi makan bedulang dapat diinterpretasikan kedalam beberapa dimensi-dimensi berikut:
- Bertakwa kepada Tuhan YME dan Berakhlak Mulia, yaitu dilakukan dengan berdoa sebelum makan dan karakter/ budi pekerti menghargai orang yang lebih tua;
- Berkebhinekaan Global, yaitu perilaku tampak dari keterbukaan undangan makan bedulang, yakni adanya kebersamaan di tengah keberagaman suku yang hadir pada tradisi ini;
- Gotong Royong, yaitu dicerminkan melalui kerja sama dan tindakan kolaborasi penyajian pada tradisi makan bedulang dari berbagai kelompok umur serta kalangan;
- Mandiri, yaitu adanya pembagian peran dan pelaksanaan tugas yang bertanggung jawab pada posisinya masing-masing. Misalnya ada yang bertugas sebagai juru masak, pengangkat dulang, dsb;
- Kreatif, dibuktikan pada variasi dan akulturasi menu makanan, yang pada saat ini telah ada yang menuju ke arah modern;
- Bernalar Kritis, yaitu adanya proses identifikasi melalui pengamatan (kejelian) peserta didik terkait lauk-pauk yang tradisional dan atau modern. Hal ini melatih peserta didik untuk tahu mana bentuk keaslian budaya, dan mana yang sudah mengalami perbauran budaya.

Sumber: Dokumentasi SMA Negeri 1 Manggar, 2019
Asas Tri-Kon di Sekolah
Menurut KHD, pendidik harus melakukan perubahan, dalam hal ini perubahan pembelajaran di sekolah, antara lain: 1) Asas Kontinuitas, yaitu mengadakan dialog kritis tentang sejarah. Artinya, kita tidak boleh melupakan akar nilai budaya internal masyarakat melalui pembelajaran di sekolah.
Dalam pembelajaran di kelas, hal ini dapat dilakukan dengan menyanyikan lagu nasional sebelum atau sesudah belajar. Di tingkat sekolah, guru dapat membuat program sekolah yang berkaitan dengan nasionalisme, yaitu seminar nasional dan lomba sejarah Indonesia yang mengingat atau menggali sejarah jati diri bangsa. Yang terpenting adalah kegiatan ini harus berkesinambungan atau berkesinambungan di dalam kelas dan di sekolah.
Selain itu, 2) Asas Konvergensi, yaitu pendidikan harus memanusiakan manusia dan memperkuat nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dapat dilakukan di kelas, misalnya dengan memberikan umpan-balik yang baik jika ada siswa yang melanggar peraturan sekolah atau kesepakatan belajar di kelas. Misalnya, guru menahan diri dari memukul, merundung, dll. Ini tidak hanya terkait dengan hukuman yang mendidik, tetapi guru juga harus memberi penghargaan kepada siswa yang berhasil melaksanakan proses pemberlajaran di kelas atau bagi yang berprestasi. Memanusiakan manusia adalah kunci agar nilai-nilai kemanusiaan itu dapat berkelanjutan dan dihargai bersama.
Yang terakhir adalah 3) Asas Konsentris, yaitu pendidikan harus menghargai keberagaman dan memerdekakan peserta didik, karena masing-masing anak berputar sesuai orbitnya (kodrat alamnya). Jadi kita hidup dalam masyarakat besar (Indonesia) dan kita memiliki keragaman, dimana keunikan orang-orang ini harus dihargai.
Di kelas, hal ini dapat dilakukan dengan membagi kelompok tugas secara merata, sehingga guru menyesuaikan metode penyampaian materi sesuai dengan gaya belajar siswa, atau biasa disebut pembelajaran berdiferensiasi. Di tingkat sekolah, guru dapat menyalurkan minat dan bakat siswa sesuai dengan fitrahnya dan memaksimalkannya, membimbingnya untuk berkembang dengan sebaik-baiknya. Hal ini dilakukan dengan cara meneliti dan mengumpulkan informasi tentang minat/ bakat siswa, kemudian dimaksimalkan dengan cara melatih dan membimbing mereka untuk mengikuti berbagai perlombaan untuk meningkatkan kekuatan diri dan kualitas budi pekerti (kesopanan dan sportivitas) mereka.
*Penulis adalah peserta program Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 7 Prov. Kep. Bangka Belitung dan guru SMA Negeri 1 Manggar
.
Ilustrasi: https://www.kalderanews.com/
.
Daftar Pustaka
Belitung, Dinas Pariwisata. (2021). “Tradisi Makan Bedulang”. Diakses pada 27 Oktober 2022 melalui laman https://dispar.belitung.go.id/read/874/tradisi-makan-bedulang
Dewantara, K.H. (2009). Menuju Manusia Merdeka. Yogyakarta: Leutika
Dewantara, K.H. (1936). Dasar-dasar Pendidikan. Keluarga
Kun, Takiya. [Takiya Kun]. (2020). Makan Bedulang khas Belitong || WAUU BELITONG || Vlog Competition Festival Tanjung Kelayang 2020. [Video]. Youtube. https://www.youtube.com/watch?v=waCosSIHRyw
Theresa, Ristiani. (2022). “Tradisi Makan Bedulang Khas Belitung Sebagai Simbol Kebersamaan yang Penuh dengan Filosofi”. Diakses pada 27 Oktober 2022 melalui laman https://www.grid.id/read/043341648/tradisi-makan-bedulang-khas-belitung-sebagai-simbol-kebersamaan-yang-penuh-dengan-filosofi?page=all