Sadar Diri
Oleh: Jaeni
Siswa SMPN 2 Gantung
Editor: Ares Faujian
Dorr…. !!!!!
Suara pintu yang tertutup dengan keras menggambarkan amarah. Gadis berumur 14 tahun yang duduk di bangku kelas 8 yang melakukannya. Bak dihantam badai, Liona membanting pintu kamarnya hingga vas bunga di tepi meja jatuh dan pecah. Namun Liona sama sekali tidak peduli. Ayah dan ibu hanya menatapnya dengan senyum miring.
Liona melakukan itu karena hatinya tengah kusut. Sebab karena pada tahun ini Liona kembali mendapatkan peringkat kelima di kelas. Gadis itu kesal karena peringkat yang ia dapatkan tak pernah naik, bahkan turun. Sungguh perjuangan yang melelahkan, dan menyedihkan. Hal itulah yang kini dipikirkan Liona.
Dia iri dengan temannya yang selalu juara satu. Seperti pejabat yang tak pernah turun pangkat. Padahal rasanya sudah berusaha, namun tetap sama saja. Kemudian Liona berbaring di kasur sambil bermain ponsel dan akhirnya ketiduran.
Setelah bangun, Liona menemukan ponsel dalam genggamannya masih dalam keadaan menyala. Padahal seharusnya sudah mati setelah sekian lama menyala.
Tring..
Ponsel Liona berdering, dan muncul sosok kecil bersayap dalam bentuk hologram yang keluar dari ponselnya. Liona langsung mematikan ponselnya, namun tidak mati. Dan hologram kecil mulai bicara.
Trixsy namanya, mahkluk dalam bentuk hologram itu. Trixsy adalah seorang peri kecil yang manis dan senang membantu. Peri kecil itu datang karena merasa ada anak yang kesulitan dan perlu dibantu, itulah pekerjaannya.
Liona yang mendengar ungkapan Trixsy langsung berpikir ke arah peringkat kelas. Mungkinkah peri ini bisa membantu balas dendamku, dan membuat aku juara.
Selama beberapa hari Trixy tinggal bersama dengan Liona. Trixsy lebih tepatnya membantu dan menjelaskan jalan tercepat dalam pembelajaran, sehingga mempermudah belajar Liona. Namun semua itu berbanding terbalik dengan kenyataan. Liona sama sekali tidak berniat usaha karena sudah waktunya libur sekolah. Padalah hampir setiap waktu Trixsy memberikan semangat dan dukungan, namun Liona hanya bilang iya dan nyatanya tidak.
Melihat sikap acuh tak acunya Liona, Trixsy mulai merasa lelah hingga peringatan terakhir datang. Namun juga tetap sia-sia. Dengan berat hati hologram kecil itu pergi menghilang tanpa jejak, tidak lagi muncul dalam sinar senter yang menyinari dan tak lagi jadi cahaya motivasi.
Betapa terkejutnya Liona mendapati ponselnya itu tidak bisa memunculkan hologram lagi lewat cahaya senter. Dan ia merasa telah kehilangan harapan yang paling ia tunggu.
“Dasar peri jahat, penghianat, kau bilang akan membantu namun apa yang ada sekarang, kalau begitu tak usah bantu!!!!”
Liona duduk di meja belajar melihat buku yang selalu disuruh Trixsy untuk dibaca. Ia merenung, kemudian mengambil kertas persegi kecil di pojok meja dan melipatnya menjadi perahu kecil, lalu ia tinggal begitu saja.
Dengan suasana hati diselimuti awan mendung, Liona pergi ke teras untuk mencari angin segar. Kemudian Liona bertemu ayah yang sedang duduk membaca koran. Liona pun duduk di bangku sebelah meja dekat ayah. Liona melihat ada kopi dan biskuit manis. Kemudian ayah mengambil kopi dan meminumnya, barulah makan satu biskuit hingga keduanya sama-sama habis.
“Ayah ayah kan suka kopi, kenapa makan biskuit?” tanya Liona.
“Kopinya terlalu pahit.” jawab ayah
“Loh makan biskuit saja kopi tak usah.” sambung Liona.
“Sayang kalau tak diminum nanti siapa yang minum?” kata ayah.
“Dibuang yah.” jawab Liona santai.
“Jika kopi pahit adalah bagian hidupmu, apakah akan kau buang? Hmmmm. Liona” balas ayah.
“Semua hal tidak bisa dibuang cuma-cuma. Di setiap hal memiliki harga. Sekalipun ini kopi pahit, penuh perjuangan loh untuk mendapatkannya.” sambung ayah.
“Kenapa kopi pahit jadi bagian hidup?” tanya Liona kembali.
Ayah tersenyum. Kemudian memberikan satu biskuit. Liona memakannya, rasanya manis.
Tanpa sadar Liona mengerti maksud ayah. Penyesalan tiada tara membanjiri hatinya begitu ia mengerti. Kehidupan pahit dan manis adalah seimbang. Bila ada pahit pasti ada manis, begitu pula sebaliknya. Bila hanya ingin manis, pada akhirnya akan tetap mendapat kenyataan pahit.
Trikxy yang datang dengan senyum, musim semi pergi dengan sedih bak dilanda badai setengah mati. Padahal yang dilakukan Trikxy adalah membantu Liona melewati lautan pahit dan sampai di daratan manis.
Namun Liona memilih kesenangan sesaat, yaitu libur sekolah dan tidak peduli akan keberadaan Trikxy.
Kini memanggil Trikxy pun tak bisa. Yang tersisa hanya penyesalan belaka. Kelalaian telah membuat aku kehilangan.
Setelah sekian lama merenung, akhirnya Liona mulai duduk dengan mantap dan membaca bukunya.
“Mungkin ini belum menjadikan aku sempurna, namun, aku ingin diriku berguna dan berharga.”
Juara bukan segalanya, namun mengerti, peka dan mampu membawa diri dalam lingkungan akan menjadikan kamu berguna dan berharga.
Yang dibutuhkan dalam kelas bukanlah peringkat. Namun orang-orang yang cerdas dan bermartabat.
-Selesai-
Ilustrasi: yorkshirecoastfamilies.org