Sekolah Musim Panas 2019 Bidang Teknik Kedokteran di Universitas Osaka
Oleh: Hesty Susanti
Pembina Karya Muda Belitung
Editor: Ares Faujian
Bulan ini, saya berkesempatan mengunjungi negara matahari terbit untuk kedua kalinya dalam tahun ini. Kali ini, saya berkesempatan untuk menghadiri sekolah musim panas atau summer school di Kota Osaka. Secara harfiah, summer school diadakan pada musim panas. Ini pengalaman pertama saya melewati musim panas di Jepang. Ternyata musim panas di Osaka lebih panas dari yang saya bayangkan sebelumnya, bahkan lebih panas dan jauh lebih lembab dibandingkan musim panas di negara-negara Eropa Barat dan Selatan. Matahari bersinar terik dengan suhu udara rata-rata mendekati 400C. Namun, matahari tenggelam lebih cepat dibandingkan puncak musim panas di Jerman, karena Jepang terletak sedikit lebih selatan secara garis lintang. Sejak pagi hingga sore hari, serangga bersuara nyaring dari ordo Homoptera riang bernyanyi hampir-hampir memekakkan telinga. Di Belitong, masyarakat akrab menamai mereka dengan sebutan ketaer atau tonggeret dalam Bahasa Sunda.
Hal lainnya yang lazim terjadi di Jepang selain gempa bumi adalah taifun atau badai yang sering terjadi di musim panas. Beruntungnya, tak seperti tahun lalu, tahun ini taifun tak sampai merusak fasilitas kota, hanya mengganggu jadwal penerbangan dari dan menuju Jepang dan negara-negara di sekitarnya. Masyarakat Jepang sudah sangat terbiasa dan siap menghadapi risiko-risiko bencana alam yang mengancam mereka setiap waktu. Tak heran, dengan sistem yang sangat terstruktur dan rapi, persoalan mitigasi bencana di Jepang mampu meminimalisasi persentase kerugian dengan sangat signifikan.
Summer school selama seminggu ini diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Teknik Kedokteran dan Informatika, Universitas Osaka (Global Center for Medical Engineering and Informatics/MEI-Center) dan ditujukan bagi mahasiswa pasca sarjana dari seluruh dunia dengan latar belakang keilmuan terkait. MEI-Center menyediakan beasiswa penuh bagi para mahasiswa yang terpilih. Alhamdulillah, saya salah satu dari yang terpilih tersebut. Summer school tahun ini bertemakan Harmonizing Model-driven and Data-driven Approach in Biomechanical and Biomedical Engineering. Karena terlalu aneh untuk saya terjemahkan dalam Bahasa Indonesia, maka lebih mudah saya ceritakan saja apa yang saya dapatkan dari sekolah singkat yang sangat berkesan ini.
Kegiatan summer school ini diisi dengan perkuliahan di kelas, seminar, diskusi, sesi poster, workshop dan kunjungan ke laboratorium dan fasilitas penelitian, termasuk dua rumah sakit yang dimiliki Universitas Osaka. Pembicara dan pengajar dari empat negara, yaitu Jepang, Selandia Baru, Ukraina, dan Malaysia membagikan pengalaman dan keahlian mereka kepada kami, tiga puluh lima peserta yang berasal dari dua belas negara. Kesempatan ini bukan saja saya manfaatkan untuk memperdalam wawasan dan pengetahuan di bidang yang saya geluti selama ini, namun lebih dari itu saya juga berkesempatan memperluas jaringan dalam lingkup keilmuan serupa, sekaligus mengenal orang-orang dari berbagai latar belakang dan budaya. Sesuatu yang selalu menjadi cita-cita dan kegemaran saya sejak lama. Mengenal orang-orang dengan latar belakang yang berbeda adalah tiket untuk menjadi warga dunia atau global citizen yang baik. Dari sini kita belajar untuk memahami hal-hal yang berbeda atau belum kita kenal sebelumnya, sehingga di kemudian hari kita tidak mudah menuduh, menghakimi, bahkan membenci orang lain yang tidak sama dengan kita. Allah menciptakan manusia berbeda-beda untuk saling mengenal satu sama lain, untuk sama-sama belajar dan saling memberikan manfaat seluas-luasnya.
Dari perkuliahan di kelas, mula-mula kami dikenalkan dengan fenomena-fenomena fisiologis yang terjadi dalam tubuh manusia. Fenomena-fenomena ini memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai penanda kondisi tubuh kita. Untuk itu, kita memerlukan pengetahuan yang tepat dan pengamatan seksama sebelum fenomena-fenomena tersebut dimodelkan dalam model-model matematika. Model-model matematika ini merupakan penyederhanaan dari sistem yang sesungguhnya terjadi dalam tubuh kita, yang kemudian didekati sebagai fenomena fisika yang mengikuti hukum-hukum yang berlaku di alam semesta. Oleh karena itu, pengetahuan tentang teori dan skill matematika juga sangat diperlukan dalam bidang ini.
Di hari-hari berikutnya, kami dibawa ke ranah yang sedikit lebih rumit namun semakin menarik. Sederhananya, kami belajar untuk mengenal pemanfaatan dari pemodelan ini secara lebih terperinci melalui workshop, seminar, dan diskusi. Misalnya, pemanfaatannya untuk mengenali sifat-sifat penyakit kronis, mengevaluasi kondisi tubuh pasien, atau membantu pasien yang mengalami kelumpuhan untuk meningkatkan kualitas hidup dengan brain computer interface (BCI). BCI memanfaatkan informasi dari sinyal otak pasien yang mengalami kelumpuhan dan atau tidak mampu berbicara untuk menggerakkan alat bantu seperti lengan robot, kursi roda, atau merangkai huruf-huruf menjadi tulisan yang bisa dimengerti oleh orang lain. Kami juga berkesempatan mengunjungi beberapa laboratorium dan rumah sakit untuk melihat langsung bagaimana ilmu-ilmu tersebut saling terkait, diuji dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan banyak orang.

Selain itu, selama summer school ini kami berkesempatan pula menampilkan penelitian kami masing-masing dalam bentuk poster. Kesempatan ini kami manfaatkan untuk memperkenalkan hasil penelitian masing-masing sekaligus mengenal penelitian yang dilakukan oleh peserta lain melalui pertukaran informasi dan diskusi. Saya takjub bagaimana bidang keilmuan ini berkembang luas di berbagai belahan dunia, bahkan banyak hal-hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Dari sini, kita akan mengetahui di mana posisi kita, lalu selanjutnya menyusun strategi agar tak kalah bersaing untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Selain itu, pertukaran informasi seperti ini mendorong kita untuk semakin percaya diri namun tetap rendah hati.
Dalam kesempatan ini ternyata Allah menitipkan pula kepada saya kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang dari Kota Christchurch, Selandia Baru. Christchurch mendadak menjadi perbincangan semua orang setelah tragedi penembakan yang terjadi di dua masjid di kota yang damai itu. Dua Profesor yang menjadi pembicara dan tujuh orang mahasiswa doktoralnya berkesempatan hadir dalam summer school ini, sebuah pertemuan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Saya sempat berbincang dengan salah satu dari mereka tentang peristiwa ini. Profesor Deborah yang baik hati seketika berubah raut mukanya, dia terdiam sejenak. Dia bercerita kepada saya bahwa semua orang di Selandia Baru sangat terpukul dengan kejadian ini. Dia sendiri membutuhkan waktu lebih dari dua minggu untuk merasa “normal” kembali jika bertemu orang-orang muslim di sana atau menonton berita dari televisi. Sebelumnya, dia selalu menangis karena tragedi ini rupanya telah menorehkan trauma dan kesedihan yang mendalam dalam sanubarinya.
Waktu berjalan begitu cepat. Rasa haus akan ilmu membuat masa satu minggu terasa masih kurang. Namun, semua yang dimulai tentu ada akhirnya. Saya pulang dengan perasaan berbuah-buah, lebih dari berbunga-bunga. Pada titik ini, saya merasa sangat beruntung telah dibesarkan di lingkungan Teknik Fisika, karena di “rumah” ini sejak dini kami dikenalkan dan diajak berakrab-akrab dengan berbagai fenomena fisika dan bahasanya yaitu matematika. Ditambah lagi, sejak memulai Tugas Akhir tingkat sarjana dulu, saya “dipaksa” untuk kembali bercengkerama dengan biologi. Maka, bagi adik-adik yang merasa bahwa pelajaran-pelajaran tersebut adalah “momok” yang sangat menakutkan, berhentilah sejenak. Beri ruang untuk mengenali keindahannya secara perlahan-lahan. Namun, sudah barang tentu, tidak ada ilmu yang instan dan seketika berbuah manis. Semuanya membutuhkan proses yang diiringi dengan doa, ketekunan, perjuangan dan kesabaran. Maka, bukalah jendela-jendela ilmu dengan rasa syukur, mudah-mudahan Allah berkenan memberikan izin bagi helai-helai pengetahuan untuk hinggap dan bersemayam di hati kita.
Bandung, 23 Agustus 2019
Hesty Susanti