Senja di Kotamu
Oleh: Ibni Awalia
Siswa SMPN 4 Manggar
Editor: Ares Faujian
Kedatangan senja yang menenggelamkan matahari, mengajarkan bahwa segala sesuatu tak ada yang abadi. Senja sore ini mengingatkankan ku tentang “masa lalu”, masa lalu yang membuat seluruh hidupku berubah.
“Selamat Arania Megalova, kamu mendapatkan nilai tertinggi di ujian seperti biasanya.” ucap guru-guru dengan sangat bangga.
“Ada yang ingin kamu sampaikan kepada teman-teman atau pun keluargamu?”
Raut wajah Rania berubah seketika ketika mendengan ucapan kata “keluarga”, seakan dirinya terhempas ke lautan dalam.
“Tidak ada lanjut saja.” ucap Rania tegas.
Seluruh orang merasa kebingungan dengan sikap cuek yang Rania miliki sejak dulu, seluruh orang menjadi penasaran dengan silsilah keluarga Rania.
“Teeettttt!!” bel istirahat pun berbunyi.
Murid murid pun berhamburan keluar kelas, kecuali Rania dan temannya yang bernama Fika. Fika adalah teman terdekat bagi Rania. Mereka selalu menghabiskan waktu bersama, namun sayangnya Fika juga tidak tahu tentang keluarga Rania, dan hari ini, menit ini, detik ini, akhirnya dia pun memberanikan diri untuk bertanya kepada sahabatnya, yaitu Rania.
“Ran?” ucap Fika ragu-ragu sambil menelan air ludah.
“Ya? Kenapa?” ucap Rania sambil membaca buku dengan tenang.
“Kalo boleh tau, keluarga kamu itu baik-baik saja kan??”
Ekspresi Rania berubah total dan membuat batin Fika terpental. Rania pun
bangkit dari tempat duduknya dan langsung keluar dari kelas tanpa basa-basi.
Fika pun membeku di tempatnya, ia sangat khawatir jika hubungan pertemanannya dengan Rania berakhir.
“Tettttttttttttttttttt!!!”
Bel pulang pun berbunyi. Seluruh kelas hampir sunyi, kini hanya tertinggal Rania dan Fika di kelas itu.
“Kamu mau tau kan tentang keluarga aku?”
Fika terdiam sejenak, lalu mengangguk secara perlahan. Fika sedikit ragu-ragu karena ekspresi datar Rania.
Kini mereka pergi dengan sepeda menyusuri jalanan sepi tak berpenghuni. Rania pun turun dari sepedanya, ia langsung menuju ke tepi lautan tanpa aba-aba. Fika pun mengikuti dari belakang, kini mereka berdua duduk di tepi lautan menghadap ke arah senja yang menghiasi langit di sore itu.
“Senja adalah waktu dimana aku menunggu kehadirannya, senja adalah waktu dimana aku berharap dia kembali sesuai yang ia katakan, tapi sore itu dia mengingkari perkataannya yang membuat semua di empat tahun yang lalu berubah.” ucap Rania dengan nada lirih.
“Empat tahun yang lalu ibuku mengalami sakit keras. Namun karena kami tak mempunyai biaya, dia dirawat di rumah saja. Ia sangat ketergantungan obat yang membuat hidupnya seperti burung di dalam sangkar, dan pagi itu obatnya hampir habis, dia berpesan kepada kakakku untuk membelikannya obat sepulang ia sekolah.”
Kakakku berpesan denganku, “Tunggulah kakak di teras rumah kita yang kumuh ini pada waktu senja, karena senja adalah karunia spesial yang diberikan oleh Tuhan untuk dipandang bukan untuk dilewatkan.”
“Tapi?? Kalau kakak bohong?”
“Tenang saja, kakak janji.”
Kini ia pun pergi berangkat ke sekolah. Senja pun tiba, tapi orang yang kutunggu tak kunjung tiba di tempat yang sudah ia janjikan.
Diriku mulai merasa kecewa dengannya. Ibu pun mulai kesulitan untuk bernapas. Aku pun mulai panik mencari bantuan ke sekitar rumah. Namun usahaku nihil, karena rumah kami berada di tepi pantai yang jauh dari pemukiman warga.
“Nak, sudah jangan panik, tunggu saja kakakmu itu sesuai dengan janji kalian, ibu baik-baik saja kalau sudah waktunya Rania pergi bersama ibu, nanti ibu jemput menuju tempat terbaik untuk kita.” ucap ibu Rania dengan napas tersengal-sengal.
“Ta, tapi..”
Belum selesai Rania menyudahi perkataannya, tatapan teduh ibunya perlahan menutup seakan daun rimbun yang membuat pohon sejuk akan gugur di musim panas. Tetesan air mata membasahi wajah cantik Rania.
Rumah Rania dipenuhi oleh orang-orang dengan pakaian hitam. Tanpa disadari anak dengan pakaian Sekolah Menengah Atas terkejut akan peristiwa di rumahnya tersebut. Ia segera memasuki rumah dan spontan memeluk tubuh ibunya yang terkulai lemas di lantai ruang tamu.
Ia pun menangis terisak-isak dengan memegang kantok plastik berwarna hitam yang berisi obat-obatan, yang mungkin bisa membuat hidup ibunya sedikit lebih panjang.
“Maafin kakak buk, coba tadi kakak tidak kerja, pasti ibu masih bisa menjaga kakak dan Rania.”
Isakan tangisannya semakin keras, ia benar-benar menyesali apa yang telah diperbuat di senja sore ini. Kini, kami berada di pemakaman ibu, hanya aku dan dia.
“Dek maafin kakak, maaf kakak ingkar janji, maaf telah membuat hidup kamu berubah, maafin kakak, tapi kakak janji kakak akan menjaga kamu sama persis seperti ibu lakuin ke kita.”
“Kakak pikir dengan minta maaf bakalan cukup untuk membuat ibu hidup lagi? Tidak akan bisa sama seperti pohon dengan daun yang telah gugur jika hanya dilindungi tapi tak diberi air dan pupuk, maka daun yang rimbun itu pub tak kan pernah tumbuh kembali! Senja sore ini sangat tak spesial, semua itu karena kakak! Kenapa kakak egois sekali sampai harus kerja demi bisa kuliah? Kakak tau kan kalau obat ibu lebih penting dari segalanya? Aku tidak mau lagi lihat muka kakak! Aku sudah muak!!!” ucap Rania dengan nada tergesa-gesa.
Setelah itu, aku pun langsung meninggalkan kakak sendirian di sana. Aku tak tahu lagi apa yang terjadi dengannya setelah kejadian itu. Ia tak pernah lagi berani muncul di hadapanku. Dia hanya meninggalkan uang saku untukku di atas meja makan.
Ia juga selalu pulang larut malam. Aku juga selalu merasa bodo amat dengat semua yang ia lakukan.
Pada kelas 2 SMP, kakak mulai bekerja di luar kota. Dia selalu memberi jatah bulanan melalui ATM yang dia berikan denganku. Semenjak saat itu, kami tak pernah berkomunikasi lagi.
“Dan itulah cerita hidupku, Fika.” ucap Rania sambil menghela napas panjang.
“Sekarang kamu harus ketemu sama kakak kamu lagi. Ingatlah Rania, daun rimbun yang jatuh memang tak bisa tumbuh kembali jika tak diberi pupuk dengan air. Tapi kita masih mempunyai pohon yang tetap bisa menjadi pelindung.”
“Ta, tapi bagaimana caranya?”
“Akulah pohon tersebut. Oh Rania, aku selalu menunggumu di sini, aku tetaplah pohon yang selalu melekat kepada akarnya.” ucap seseorang yang sangat familier di kuping Rania.
“KAKAK!!”ucap Rania sambil meneteskan air mata.
“Akar pada pohon tak pernah mengeluarkan air, Rania. Itu hanya meresap air yang membuat dirinya semakin kuat. Apakah kau telah memaafkan sebatang pohon yang seharusnya ditebang ini?” ucap kakak Rania.
“Kau bukanlah pohon yang harus ditebang, tapi kau adalah pohon yang harus dikenang, sama seperti senja pada sore itu.” ucap Rania terharu.
Setelah perjumpaan dramatis itu, kini mereka pergi ke pemakaman ibu.
“Ibu, kita adalah pohon yang rimbun. Kita tak pernah gugur hanya saja kita sedikit layu.” ucap Rania dan kakaknya bersama-sama.
Kini mereka telah belajar mengikhlaskan dan menunggu kedatangan ibunya yang akan menjemput mereka ke tempat terbaik sesuai janjinya.
-Selesai-
Ilustrasi: Google