Siapkah Guru Menghadapi Era Disrupsi?
Oleh: Eki Piroza
Guru SMP Negeri 3 Kelapa Kampit
Sekretaris PC PGRI Kelapa Kampit
Editor: Ares Faujian
“Perubahan adalah sesuatu yang pasti terjadi di dunia ini”. Pandangan tersebut disampaikan oleh seorang Filsuf Yunani Kuno, bernama Herakleitos. Hal ini dapat dilihat dari perspektif sejarah, sebagai contoh era Revolusi Industri 1.0 adalah era di mana untuk kali pertama manusia menggunakan mesin dalam mempercepat pekerjaan. Zaman ini ditandai dengan ditemukannya mesin uap di Inggris oleh James Watt,sehingga adanya penemuan tersebut mendorong percepatan pekerjaan dan mengurangi beban kerja manusia.
Pada masa berikutnya, kita melihat dikembangkanya komputer dengan layar tabung melalui produk bernama Lisa (produk Apple). Adanya Lisa menyempurnakan komputer milik IBM, perusahaan lain yang lebih dulu mengenalkan komputer kepasaran. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, semenjak jaringan internet banyak dipergunakan secara luas oleh masyarakat, maka pola hidup masyarakat juga berubah. Karena pola hidup masyarakat yang berubah, kemudian mempengaruhi juga pola konsumsi masyarakat. Sehingga, perubahan menuntut inovasi pada perusahaan jika ingin tetap eksis di tengah masyarakat.
Perubahan tentu saja menginginkan adanya sebuah inovasi. Hal ini dikarenakan pada era ini prinsipnya bukan siapa yang memiliki capital (dana besar) yang akan menang. Tetapi siapa yang memiliki inovasilah yang akan menang. Sehingga dampaknya kita bisa melihat bagaimana perusahaan besar tumbang karena dikalahkan oleh perusahaaan kecil. Hal tersebut terjadi karena kurangnya inovasi, keadaaan ini yang disebut dengan era Disrupsi.
Disrupsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah sebuah hal yang tercabut dari akarnya atau bisa juga diartikan dengan perubahan yang terjadi secara mendasar (besar-besaran) merubah secara fundamental semua sistem, tatanan ke cara-cara baru akibatnya pemain yang masih menggunakan cara dan sistem lama akan kalah bersaing. Penulis mengambil definisi lain Disrupsi dari Guru Besar Harvard Bussines School, Clayton M. Cristensen, tertuang dalam bukunya yang berjudul The Innovator Dilema, terbitan tahun 1997. Pada buku ini, disrupsi menurutnya terjadi karena kurangnya inovasi. Sehingga ukuran besar tidak menjadi indikator akan menang dalam menghadapi era Disrupsi. Menariknya tulisan ini dibuat di mana pada masa itu internet belum sepopuler sekarang. Tetapi dalam buku ini, ia sudah meramalkan akan terjadi era Disrupsi di masa yang akan datang, dan teori tersebut relevan dengan masa kini.
Disrupsi pada Dunia Pendidikan
Dulu, ketika penulis berada di sekolah dasar hingga menengah atas (Tahun 2000an awal), kegiatan belajar mengajar masih menggunakan papan tulis hitam lengkap dengan kapur. Lalu, papan hitam berubah warna menjadi putih, dan kapur pun berganti spidol. Kini, generasi mileneal lebih canggih dengan menggunakan gawai dan proyektor. Dalam mencari ilmu pengetahuan, anak sekolah zaman dulu lebih gemar ke perpustakaan dengan membaca buku, jurnal, koran atau berdiskusi bersama guru. Sekarang, di abad 21 ini, siswa lebih senang bertanya ke “Mbah Google”.
Bagi generasi sekarang internet telah menjadi alat belajar, informasi dan komunikasi yang sangat mengasyikkan. Hal tersebut adalah perubahan yang terjadi pada dunia pendidikan. Pertanyaannya, bagaimana dengan guru saat ini? Apakah sudah mengikuti perubahan yang sedang terjadi? Pertanyaan tersebut tentunya hanya masing-masing gurulah yang bisa menjawab.
Pada abad 21 ini ada beberapa kecakapan yang harus dimiliki oleh seorang guru. Secara global kecakapan yang diperlukan Guru pada abad 21 ini :
- Cara Berfikir: Dalam hal ini kreativitas dan inovasi, berfikir kritis, memecahkan masalah, mengambil keputusan dan belajar untuk belajar.
- Cara untuk Bekerja: Berkomunikasi dan bekerjasama.
- Alat untuk Bekerja: Pengetahuan dan keterampilan.
Dari Indikator-Indikator tersebut secara umum dapat disimpulkan bahwa Inovasi, kemampuan komunikasi dan penguasaan IPTEK menjadi hal yang harus dikuasai secara utuh oleh guru. Mau menolak? Sudah bukan zamannya lagi. Lalu, bagaimana? Ikuti saja yang saat ini ada.
Berdasarkan referensi yang penulis baca, bahwa Indonesia sebenarnya ketinggalan jauh dibanding negara lain dalam masalah ini. Khususnya, negara maju. Amerika dan Inggris sudah menyadari dan mengantisipasi datangnya era disrupsi ini. Meskipun, terlambat masalah disrupsi harus ditangani.
Dalam pendidikan pun, disrupsi harus dihadapi. Guru harus melek dengan teknologi. Kelas akan menjadi rombongan belajar yang terhimpun dalam ‘grup-grup’ aplikasi belajar daring, sehingga guru bisa dengan mudah menyampaikan materi melalui media tersebut. Atau, guru bisa juga dengan kelas online melalui teleconference. Sehingga dalam hal ini persoalan jarak bukan menjadi masalah.
Guru di era disrupsi pasti bisa Microsoft office dan tidak sekadar berbicara di depan kelas. Maksudnya dalam hal ini mampu mengelola kelas secara manual atau online. Guru juga mampu meng-upload materi/ bahan ajar ke sistem. Tidak menyuruh siswanya yang mengunggah. Aktif dalam pembelajaran secara online dengan membuat grup-grup diskusi sehingga aktif menjawab setiap pertanyaan oleh siswa di grupnya.
Guru pada era Disrupsi tentunya dituntut mendapatkan sesuatu yang baru setiap hari. Mengapa? Karena perubahan era membuat guru harus rajin membaca, tak semata-mata mengajar bersumber dari LKS (Lembar Kerja Siswa) yang dibeli dari penerbit. Guru pada era ini membuat mind mapping-nya terlebih dahulu kemudian mencari atau menulis cerita motivasi ke siswa sebagai apersepsinya. Tidak hanya mengajar yang rutinitas. Setiap hari ia mengajar pasti ada perbedaaan. Itulah guru di era disruption.
Keluar dari Zona Nyaman
Berbicara mengenai perubahan, tentunya tidak semua akan menerima dengan lapang dada. Tentunya masih banyak yang masih terjebak pada ‘zona nyaman’ dan enggan bergerak mengikuti perubahan yang sedang terjadi. Ini adalah hal yang lumrah ditemukan dalam kehidupan. Hanya saja kembali kepada guru masing-masing, ingin bertahan atau tertinggal.
Sebenarnya arah Pendidikan Nasional yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia untuk mendorong pendidikan yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan di abad 21 ini sudah terprogram dengan baik melalui kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yakni Program Merdeka Belajar salah satunya melalui Assesment Nasional (AN), yang sudah disosialisasikan kepada guru dan akan segera diterapkan secara nasional. Adanya kebijakan AN ini adalah salah satu strategi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional agar penilaian kualitas pendidikan Indonesia di mata Internasional naik peringat. Yang mana tahun 2018 lalu nilai PISA (Programme For Internasional Student Assesment) Indonesia selalu terbawah dalam beberapa indikator PISA. PISA bisa diartikan sebagai metode penilaian internasional untuk mengukur kompetensi siswa secara global.
Pada akhirnya, segala kebijakan pembaruan dalam dunia pendidikan Indonesia tidak akan terlaksana dengan sukses tanpa didukung oleh pembaruan guru dalam menyesuaikan diri di era ini. Sehingga penulis ingin menyampaikan bahwa pengembangan diri guru pada era disrupsi ini adalah pengetahuan guru harus selalu di-update, jangan sampai terhenti. Karena pengembangan diri adalah kunci untuk menyesuaikan dengan keadaan sekarang.