Syair Kehilangan
Di setiap ceruk tak berupa
Tergenang rasian bersama kayu-kayu penyangga
Terkubur butiran-butiran hitam seumpama harta
Merebak basah sangit jauh hingga muara
Bau berteman terik, lasuh kiranya tak ada menyapa
.
Tangan telanjangnya tak pernah usai mengais sisa-sisa penghidupan
Air yang lusuh, tangan keriput, mencoba berkenalan
Lalu, angin membisikkan pesan, jangan cemas bersua kematian
Ia diam. Kemudian mendesah
Bawakan padaku kematian!
Namun sudikah kelak ia senantiasa membelikanku makanan
.
Kegigihanmu, Pak
Semacam berlari dalam cakra. Ujungnya tak pernah jelas nampak
Sedang mimpiku, ia deras merembesi papan kayu peraduan kita
Nyaris ambruk
.
Izinkan anakmu mencampakkan mimpi, Pak
Jadi kolot, terbuang, lalu lenyap
Angan yang dikutuk jalan nasib, mati sudah
Oh ambruk
Demikianlah memasrahkan nasib sedang menggoda
.
Padahal ingin kuukir. Tanah, air, udara negeri jiran dalam memoriku
Sialnya, tak ada yang benar-benar paham jalannya
Entah itu Bapak, Umak, atau bahkan aku sendiri
Tuan puan jua tertutup matanya, pergi melengos
Sudahlah, barangkali kawin membujuk nasib terkutuk ini
Sedang mereka berhitung, aku sibuk mengadon mimpi
Lalu menggorengnya di dapur belakang
.
Angin sekali lagi berbisik
Entah pada hembusan yang keberapa,
Aku pulang, kemudian tidur untuk mengikhlaskan kehilangan ini.
.
Pengap.
.
Puisi karya Ananda Fathiyyah Utami
(Manggar, 7 Oktober 2020)
Pic by @yiniya.art
Keren parah?
By Rifky Wilian
Sangat menginspirasi!!!
By A. Fatur
Aslii keren?
By M. Ghozi
Mantap
By Heriyawati
Mantapppp Tia, terus berkarya yee ?
By Dwi Kurn