Tekad Adalah Kunci Keberhasilan
Oleh: Karumah Wali Daeni
Siswa SMPN 1 Manggar
Editor: Ares Faujian
Keheningan fajar waktu itu, terasa seperi nyanyian tanpa suara yang kini mendampingi Diraga untuk melakukan perkerjaannya dalam menanam padi.
Kehidupan tanpa adanya perantara kedua orang tua yang hanya tinggal dengan seorang nenek, mengharuskan Diraga untuk tetap banting tulang agar bisa memenuhi kebutuhan hidup yang serba pas-pasan.
Selain itu, Diraga juga harus memenuhi kebutuhan sekolahnya dengan mencari pekerjaan lain, seperti menjual koran dari Desa Jaya Maju ke lampu merah yang membutuhkan jarak sekitar 7 kilometer, dan bila dalam keadaan mendesak, dia akan pergi memulung sampah.
Hal ini selalu Diraga lakukan setiap hari, sehingga membuatnya sering pulang larut malam dengan uang yang dihasilkan masih kurang dari kata cukup.
Dikarenakan Diraga selalu pulang larut malam, tidak jarang ia diperlakukan buruk oleh Reza dan temannya. Kejadian ini bukanlah untuk pertama kalinya yang disebabkan Diraga sering tidur saat guru mengajar di kelas.
“Hey miskin! Kamu ingin bekerja menjadi tukang tidur ya?”
Ucapan Reza ini membuat semua teman kelasnya tertawa.
Diraga tidak menghiraukan mereka yang kini hanya terdiam tanpa suara sedikit pun.
Dirga tetap menjalankan kegiatannya sehari hari, yaitu pergi bekerja setelah saat pulang sekolah.
Hari demi hari Diraga jalankan, dengan diiringi doa sebagai mengantarkan setiap harinya. Begitu juga dengan neneknya yang membantu kesulitan cucunya dan selalu hadir di setiap keluhan yang ia ceritakan. Cucunya pernah berkata,
“Nek, apa kehidupan kita tidak akan seperti ini bila kedua orang tuaku masih hidup? Aku selalu melihat teman-temanku yang dijemput dan diantar kedua orang tuanya. Hal ini mengingatkanku tentang ayah dan ibu 4 tahun yang lalu.”
Mendengar hal tersebut, sang nenek mengeluarkan air dari kedua matanya yang sudah berkerut. Lalu di jawab oleh neneknya,
“Cu, bagaimana pun kondisinya, kamu harus kuat menjalankanya. Meskipun nanti nenek udah tidak bisa bersamu lagi.” Nenek sambil mengusap air yang jatuh dari matanya.
Saat mendengar perkataan itu, sekaligus melihat wajah neneknya yang bercucuran air mata, membuat Diraga merasa bersalah karena sudah mengeluh akan kehidupannya. Dia langsung meminta maaf kepada neneknya dan berjanji untuk tidak mengeluh dengan apa yang menimpahnya.
Dari hal tersebut, Diraga bertekad untuk menjadi pengusaha besar di bidang pertanian.
Diraga sudah mulai mempersiapkannya dengan kegiatan yang sederhana, seperti menabung, membaca di koran jualannya tentang usaha pertanian, dan belajar dengan membaca tentang buku-buku yang dia pinjam dari perpustakaan desa. Dia melakukanya sambil istirahat, setelah letih menanam padi.
Pada suatu waktu, air keringat sudah membasahi seluruh tubuhnya saat menanam padi. Banyak orang yang lewat lalu mentertawakan dia dan berkata,
“Hey nak! Apa kamu sedang bermimpi di siang bolong untuk bisa menjadi sukses yang hanya bisa belajar di tengah sawah saja dengan buku-buku seperi itu?” ucap tetangganya yang lewat.
Hanya senyuman dan satu kalimat yang di lontarkan Diraga.
“Bisa pak. Yang penting memiliki tekad dalam menjalankannya”.
Semua orang yang lewat dan mendengarkan itu hanya tertawa dan menganggap itu hiburan semata, lalu mereka pergi begitu saja.
***
Tidak di sangka, waktu kelulusan SMA Gentar Maju sudah selesai, dan seluruh siswa-siswi yang lulus mulai mendaftarkan diri mereka untuk masuk kuliah. Tidak dengan Diraga. Ia kini harus memikirkan biaya hidupnya dan juga neneknya bila dia melanjutkan studinya.
Saat menjual koran, dia mendengarkan bahwa akan ada pendaftaran penerima beasiswa untuk 10 peserta didik untuk masuk universitas. Diraga pun segera pulang ke rumah dan memberitahukan hal ini kepada neneknya, lalu Diraga meminta izin dan doa neneknya untuk meranrau ke perkotaan.
Nenek setuju dengan keputusan Diraga, dan mengucapkan pesan kepadanya agar tidak usah memikirkan neneknya.
Tetapi Diraga tidak setuju dengan itu. Ia berencana mengajak neneknya juga ke luar kota.
Karena keputusan cucunya sudah bulat, akhirnya sang nenek menyetujui hal itu. Dan mereka tinggal di sebuah kontrakan hasil tabungan Diraga selama ini, untuk sementara waktu.
Kemudian mulailah mereka tinggal di sana sambil mencari pekerjaan sampingan, dan nenek membuka usaha kecil-kecilan seperti menanam cabai, bawang, dan tanaman sayur lainnya. Diraga pun ikut membantu usaha neneknya dengan memanfaatkan wadah-wadah bekas yang tak terpakai.
Pada waktu Diraga mendaftar dan akan mengikuti tes masuk universitas dengan pendaftar sekitar 2.000 orang pada waktu itu. Diraga meminta doa restu kepada nenek semata wayangnya itu.
Tidak terasa, waktu cepat berlalu, satu minggu setelah pelaksanaan tes. Dan, pengumuman tes beasiswa kini dirilis.
“Aduh, kok gak ada nama saya di daftar ini?”
Hati semakin berdebar dan mulai agak kecewa karena di daftar yang diterima universitas tidak ada nama Diraga. Tiba-tiba pundak Diraga ditepuk oleh seorang wanita.
“Kamu Diraga kan? Selamat ya!”
“Selamat? Selamat apa?” ucap Diraga.
“Kamu masuk 10 orang yang dapat beasiswa, Dir.” balas wanita itu menjawab.
“Dari mana kamu tahu?” kata Diraga.
“Namamu ada di atas namaku. Itu ada di papan pengumuman sebelah.” jawab wanita itu.
Diraga pun segera mengucapkan terima kasih kepada wanita itu, karena sudah memberitahunya.
“Kok, kamu kenal dengan aku?” tanya Diraga.
“Kita kan satu SD dulu. Saya duduk di belakang kamu waktu kelas 4.” ujar wanita itu.
Tanpa berpikir panjang, Diraga kegirangan dan spontan mengucapkan banyak terima kasih kembali kepada teman lamanya itu, yang ternyata adalah sahabat masa kecilnya yang pindah sekolah waktu kelas 4 SD.
Sempat berbincang sebentar, Diraga pun segera pulang dan memberitahukan beasiswa yang ia dapat kepada neneknya.
Air mata yang tidak dapat dibendung pun keluar dari mata sang nenek.
“Alhamdulillah, selamat ya cu’… Tetap semangat ya! Jangan lupa terus berusaha dan bekerja keras. Ini baru permulaan.”
Kesempatan kali ini tentunya tidak akan disia-siakan oleh Diraga untuk mewujudkan impiannya yang kini sudah ada di depan mata. Dia pun melakukan tugasnya sebagai mahasiswa dan akhirnya menjadi seorang sarjana bidang pertanian, dan melamar kerja di perusahaan indusrti pertanian sebagai anak magang.
Tidak disangka, pekerjaannya membuat atasannya kagum lalu dalam waktu beberapa tahun mengangkatnya menjadi manajer di bidang produksi. Ia pun diminta mengelola persawahan di Desa Jaya Maju, tempat kampung halamannya sewaktu dulu.
Kemudian Diraga menceritakan hal ini kepada sang nenek dan akan mengajak neneknya untuk melihat kampung halamannya.
Sesampainya mereka di kampung halamannya dan melihat rumah mereka dulu, seluruh warga tetiba datang melihat sebuah mobil yang berhenti di depan rumah gubuk milik Diraga dan sang nenek yang sudah lama ditinggalkan.
Pada saat ingin melihat siapa orang pemilik mobil itu, tiba- tiba sebagian warga tidak menyangka yang sedang mereka lihat adalah seorang pemuda yang mereka tertawakan dan menganggap ia gila.
Sontak kedatangan Diraga membuat mereka semua terkejut dan tidak percaya tentang hal ini. Lalu membuat warga yang dulunya mengolok-olok Diraga merasa malu sehingga langsung meminta maaf kepada Diraga.
Sebenarnya Diraga tidak memperdulikan hinaan tetangga-tetangganya sejak dulu, dan sudah sejak awal memaafkan semua warga di sana. Kini, akhirnya Diraga mengajak warga yang tidak memiliki pekerjaan untuk bekerja di sawah yang dikelola Diraga, dan ia akan membangun sebuah masjid serta rumah panti asuhan di desanya.
Tidak hanya itu, ia juga menyalurkan banyak buku-buku ke perpustakaan desa. Hal ini Diraga lakukan untuk membuat anak-anak yang tidak memiliki orang tua dan tidak mampu membeli buku bisa belajar untuk menjadikan mereka sebagai generasi penerus yang berkarakter sukses.
-Selesai-