Terlemparnya Jiwa Milenial dalam Entakan Era Globalisasi
Oleh:
Defy Meirlina
Siswa Kelas Sosioliterasi SMA Negeri 1 Manggar
Komunitas Literasi Gerbang Menulis
Editor:
Ares Faujian
“Globalisasi”, kata yang tentu saja tidak lagi asing di telinga kita, apalagi di kalangan milenial. Banyak masyarakat yang sudah merasakan dampak dari globalisasi ini, baik itu berupa teknologi, pakaian, makanan, budaya ataupun hal lainnya yang tentu saja tidak lepas dari peran globalisasi sebagai wujud perubahan sosial yang mempengaruhi Indonesia ini.
Globalisasi yang sudah mempengaruhi Indonesia tentu saja tidak dapat ditolak atau pun dicegah. Karena globalisasi ini merupakan arus mendunia yang apabila kita tolak, tentu saja akan mempengaruhi segala perspektif setiap kalangan yang ada dalam masyarakat. Arus tersebut bisa masuk begitu saja melalui teknologi, budaya, perekonomian, gaya bahasa serta pakaian dari segala penjuru dunia. Tentu saja hal ini akan membuat masyarakat sulit untuk maju ke depannya apabila masyarakat masih kontra dengan globalisasi.
Mengutip dari salah satu ahli yaitu Emanuel Ritcher dalam unggahan ZonaReferensi.com pada tanggal 22 Oktober 2018 mengatakan bahwa “Globalisasi adalah jaringan kerja global secara bersama untuk menyatukan masyarakat yang sebelumnya terpisah-pisah, terisolasi ke dalam bentuk ketergantungan dan persatuan dunia”. Berdasarkan hal inilah akhirnya banyak masyarakat yang menggunakan globalisasi untuk memudahkan kehidupan mereka terutama dalam bidang teknologi.
Masyarakat yang menggunakannya pun terdiri dari berbagai kalangan, termasuk para milenial juga ikut berkontribusi dalam menggunakan segala teknologi yang sudah merambah dalam setiap daerah di Indonesia. Penggunaan teknologi pada milenial biasanya di lakukan untuk mencari informasi dalam dunia pendidikan, bermain game, ataupun berkomunikasi dengan individu lainnya lewat media sosial.
Hal itulah yang akhirnya membuat para milenial semakin tertarik untuk menekankan diri dalam setiap perkembangan di era globalisasi. Namun sayangnya, ketertarikan yang berlebihan inilah yang akhirnya menjadi pemicu jatuhnya jati diri mereka yang seharusnya dibangun untuk keperluan bangsa dan negara ini. Mengapa demikian? Karena para milenial ini justru sebagian besar menggunakan teknologi yang ada untuk melakukan hal yang negatif. Hal negatif tersebut berupa menonton video porno, bermain game terus-menerus, penghinaan di social media atau pun hal lainnya.

Sumber : tribunnews.com
Hal yang di lakukan mereka tidak lepas karena pengaruh yang besar untuk mengetahui segala sesuatu yang belum mereka ketahui. Mereka tidak perduli apapun resiko dan dampaknya bagi kehidupan mereka. Karena yang terpenting menurut mereka adalah sebuah kepuasan.
Sebuah survei yang disajikan oleh wayutink.com pada tanggal 17 Oktober 2017, Komisi Nasional Perlindungan Anak tahun 2016 mengungkap, dari 4.500 remaja di 12 kota, 97% mengaku pernah melihat pornografi. Bayangkan dalam 2016 saja, data yang diberikan sudah mencapai 97%. Lalu bagaimana di tahun 2019 ini? Bahkan yang lebih mengejutkan lagi ketika penelitian End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes (Ecpat) malah menemukan Indonesia jadi negara terbesar kedua pengakses konten pornografi di dunia maya.
Namun, tidak hanya dalam dunia pornografi saja, dunia game pun saat ini menjadi salah satu faktor yang cukup penting untuk di perhatikan. Menurut hasil pengamatan dari Enciety Business Consult (EBC)yang telah di sampaikanoleh Rizal Zulkarnain mengatakan “Milenial, bermain game online 2-8 jam sehari, bahkan bisa meningkat lebih dari 8 jam ketika hari libur”. Berdasarkan hal inilah bisa dikatakan bahwa milenial Indonesia “darurat teknologi”.
Julukan ini bukan semata-mata hanya sebuah kata saja, tetapi hal ini telah di buktikan oleh survei yang ada serta berita yang baru-baru ini telah disiarkan oleh sejumlah media massa. Salah satunya yaitu Bisnis.com dalam unggahan pada tanggal 17 Oktober 2019 yang menyiarkan tentang 2 orang remaja yang terkena gangguan jiwa akibat terlalu banyak bermain game online yang menyebabkan tangan mereka bergerak sendiri seolah-olah sedang bermain game padahal merekatidak sedang memegang gawai apa pun saat itu. Hal ini diakibatkan karena kontrol otak yang tidak lagi senada dengan gerakan tubuh. Kedua remaja ini berinisial NV (17) asal Cikarang Selatan dan TY (17) asal Cibitung. Mereka berdua saat ini sedang dalam tahap rehabilitasi.
Berdasarkan hal ini, sungguh ironis sekali rasanya ketika menyaksikan para remaja yang seharusnya menjadi sandaran negara untuk memajukan bangsa, malah harus terjatuh dalam tipu daya dunia kemajuan. Era globalisasi yang seharusnya menjadi pemicu para milenial untuk bersaing dalam dunia global malah menjadi mundur dan menjadikan mereka terjatuh dalam lubang hitam. Entakan yang tak mampu diredam pun akhirnya membuat Indonesia mati dalam “perang globalisasi”.
Oleh karena itulah, demi menyelamatkan Indonesia dari kehancuran, maka para milenial harus dituntut maju dan mampu bersaing di era globalisasi. Oleh sebab itu, berikut adalah beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, milenial harus bisa memanfaatkan teknologi dengan lebih bijak.
Tidak dipungkiri lagi bahwa teknologi merupakan aspek penting dalam kehidupan saat ini. Teknologi memiliki banyak manfaat. Namun, teknologi pun akan berbanding terbalik ketika digunakan terlalu berlebih-lebihan. Teknologi tersebut bisa saja membuat para milenial lupa akan apa tujuan mereka dalam menggunakan teknologi.
Nah, seharusnya para milenial bisa menggunakan teknologi ini secerdas mungkin bukan semaksimal mungkin. Gunakanlah teknologi untuk mengikat segala hal positif seperti mengakses informasi dari dunia luar, menjalin komunikasi baik itu dengan teman sedaerah, teman dari luar daerah ataupun dari luar negeri. Atau milenial juga bisa menggunakan teknologi ini sebagai media penghasilan. Seperti berjualan lewat online (daring) dengan menggunakan Instagram atau Facebook. Dan janganlah gunakan teknologi untuk hal yang negatif seperti mengakses video porno, bermain game online secara berlebihan, ataupun sebagai ajang untuk berkelahi.
Kedua, milenial harus bisa inovatif dalam membuat sebuah karya. Bukan suatu hal yang tidak mungkin lagi ketika pada zaman sekarang banyak kemudahan yang telah dirasakan. Tentu saja kemudahan itu tidak lepas dari peranan para penemu yang handal. Seperti salah satunya, yaitu Indonesia saat ini memiliki seorang anak bangsa yang sangat berprestasi dan berperan penting dalam dunia transportasi yaitu Nadiem Makarim.
Nadiem Makarim yang saat ini adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI merupakan seorang pencetus aplikasi yang bernama Gojek (Go-Ojek). Gojek merupakan bisnis startup tranportasi online yang menggunakan motor sebagai medianya. Namun, kelebihan yang diterapkan dalam Gojek ini ialah masyarakat bisa memesan lewat online sehingga memudahkan mereka untuk berpergian kemanapun. Dan berkat Gojek inilah Mas Nadiem bisa menjadi ‘Mas Menteri’ di kabinet Pak Jokowi.

Sumber : finance.detik.com
Nah, berdasarkan hal inilah dapat disimpulkan bahwa milenial harus bisa berinovasi dalam dunia teknologi. Milenial harus bisa menciptakan sesuatu yang baru dan bisa diakui oleh dunia karena kehebatannya, bukan karena konsumsimya dalam menggunakan produk yang membuat manusia membudayakan konsumerisme.
Ketiga, milenial dituntut untuk membuat planning atau perencanaan yang baik dalam kehidupannya. Untuk menuju sesuatu yang baik dan sukses ke depan terutama dalam menghadapi era globalisasi tentu saja para milenial harus memilki planning. Bukan semata-mata hanya sebuah planning yang disajikan, tetapi planning tersebut haruslah dilakukan.
Ketika milenial sudah memiliki planning untuk menaklukkan dunia (dalam artian positif misalnya bisnis, teknologi, dll), maka lakukanlah semaksimal mungkin. Karena sesungguhnya jika planning itu dilakukan secara maksimal, maka hasilnya pun akan susuai harapan. Ubahlah setiap mindset pribadi agar lebih maju dengan mengikuti kegiatan-kegiatan yang positif dan progresif. Jadilah milenial yang siap dan yang bisa berfikir terbuka namun tetap mempunyai filter. Jangan menjadi milenial bermalas-malasan dengan hanya menunggu keajaiban semu datang.
Dan yang keempat adalah sadar cinta tanah air. Sadar cinta tanah air merupakan salah satu faktor penting dalam negara. Mencintai tanah air artinya mau berjuang untuk kemajuan negara. Ketika seseorang telah kehilangan cinta tanah air, maka dia tidak lagi memperdulikan apapun yang ada di dalam negaranya. Dia tidak akan mau berjuang untuk kemajuan, dia juga tidak akan berjuang untuk bangkit demi negara.
Hal inilah yang seharusnya dihindari oleh para milenial. Karena sangat disayangkan sekali disaat bangsa membutuhkan suatu fondasi (generasi milenial), malah fondasi itulah yang menjadi sumber kehancuran. Milenial harus bisa menjadi jantung bangsa. Yang bisa membuat negara Indonesia ini menjadi lebih baik bukan malah sebaliknya.
Oleh karena itu, jadilah milenial yang bisa membanggakan negara Indonesia dengan mampu bersaing dalam segala aspek kehidupan terutama dalam globalisasi. Globalisasi tidak bisa dicegah, namun kita hanya bisa mengikuti arusnya saja dengan tetap utuh pada jati diri bangsa.
Apakah arus globalisasi akan membawa kita ke kanan ataupun ke kiri? Kita tidak akan pernah tau arah pastinya. Namun, yang pasti jangan pernah menjadikan arus itu sebagai pemenang untuk memundurkan negara ini. Jika globalisasi ini terus-menerus berjalan namun tidak diseimbangkan dengan kekuatan para penerus bangsa, maka hancur sudah sebuah negara. Maka dari itu, jadilah milenial yang bisa membentengi diri dari entakan era globalisasi. Jangan biarkan jiwa para milenial terlempar dan menjauh hanya karena tak mampu bersaing dalam arus ini.
Dunia sudah maju, persaingan ada dimana-mana dan tentu saja tidak bisa dihindarkan. Sebuah negara membutuhkan pesaing handal untuk memajukan segala aspek dalam negeri ini, bukan seseorang yang hanya mementingkan diri sendiri. Generasi milenial adalah generasi yang berdiri di tanah Indonesia, bukan di tanah orang asing. Oleh karena itu, berbaktilah kepada bangsa, bukan kepada negara lain. Siapkan mental untuk taklukan masa depan demi Indonesia yang maju! Seperti yang pernah dikatakan oleh Bung Karno dalam pidatonya “Beri aku 1000 orang tua niscaya akan ku cabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan ku guncangkan dunia”. Lalu, bagaimana bisa mengguncangkan dunia kalau ‘jiwa’ anak milenial saja hanya masih jauh dari kata ‘mendobrak dunia’?