THE LITTLE MERMAID, SEBUAH KONTRADIKSI PENDIDIKAN ANTI PERUNDUNGAN
Oleh: Andy Fitrianto, S.Pd
Ketua MGMP Bahasa Inggris SMP Kabupaten Belitung Timur
Editor: Ares Faujian
Reputasi Disney sebagai pembuat film ulung tak perlu lagi dipertanyakan kredibilitasnya. Salah satu bentuk karya yang selalu mencuri perhatian adalah bagaimana Disney menyulap cerita-cerita dongeng klasik seperti Cinderella, Putri salju dan Rapunzel, menjadi film-film adaptasi yang selalu ditunggu para penggemarnya. Karya adaptasi terbaru Disney yang dalam waktu dekat akan dirilis bahkan menyedot animo penikmat film lebih dari biasanya. Little Mermaid, kisah dongeng yang menceritakan tentang perjuangan seorang (atau seekor) putri duyung dalam mengejar cintanya terhadap seorang pangeran tampan telah menjadi perbincangan di dunia maya sejak setahun belakangan.
Kisah tentang putri duyung itu menjadi sorotan publik karena ketidakwajaran yang dilakukan Disney dalam pemilihan aktris yang akan memerankan Ariel, si putri duyung tokoh utama dalam film ini. Alih-alih memilih aktris dengan karakteristik yang serupa dengan gambaran Ariel pada karya aslinya; berambut merah dan berkulit putih khas ras Kaukasoid, Disney justru melakukan perombakan besar dengan melakukan pemilihan pemeran yang secara karakter fisik jauh berbeda dari gambaran Ariel yang selama ini dikenal oleh masyarakat. Halle Bailey, aktris kulit hitam asal Amerika yang selama ini dikenal sebagai penyanyi, adalah Ariel baru pilihan Disney untuk Little Mermaid yang akan tayang 26 Mei ini. Sontak pemilihan Halle Bailey ini mendapatkan penolakan masif dari warganet.
Kesetaraan ala Disney
Bukan hal yang aneh ketika dunia perfilman Hollywood termasuk Disney acap kali lantang menyuarakan pesan-pesan sosial dan politik dalam setiap karyanya. Dalam film Little Mermaid ini barangkali Disney juga mengusung pesan-pesan tertentu yang diwakilkan melalui pemilihan karakter utama yang tidak terikat pada identitas ras dan ciri fisik. Upaya ini nampaknya ingin dijadikan Disney untuk menyatakan bahwa setiap manusia di dunia ini tercipta setara dan kita bisa jadi apa saja yang kita mau.
Namun, kampanye mulia Disney ini tak serta merta mendapatkan dukungan dari masyarakat luas. Bukannya menerima hal tersebut sebagai sebuah terobosan sosial, masyarakat dunia maya khususnya menganggap bahwa pemilihan Halle Bailey justru sebagai sebuah lelucon. Banyak pihak yang berpendapat bahwa sebuah film adapatasi harusnya dibuat seakurat mungkin dengan cerita aslinya terutama dari segi penokohan. Ada nilai-nilai yang bersifat historis dan sentimentil yang akan menguap ketika film adaptasi tidak setia terhadap cerita aslinya. Alhasil, ketidaksetujuan masyarakat terhadap pemilihan tokoh utama ini berubah menjadi penolakan yang semakin destruktif dari hari ke hari.
Gelombang Perundungan yang memprihatinkan
Gelombang protes pemilihan pemeran utama Little Mermaid semakin tidak terkendali. Adalah wajar ketika para calon penonton kecewa terhadap keputusan direksi Disney dalam pemilihan tokoh utama Little Mermaid yang tidak sesuai harapan mereka. Namun yang terjadi di tengah masyarakat digital kini telah melewati batas. Mereka tidak berhenti hanya pada penolakan semata, namun mulai memasuki ranah-ranah tak pantas dalam bentuk perundungan terhadap pemeran utama cerita tersebut.
Di dunia maya saat ini banyak sekali ditemukan artikel maupun gambar lelucon yang merundung Halle Bailey secara fisik. Penghinaan fisik atau body shaming terhadap Halle Bailey telah begitu mengkawatirkan. Dengan dalih kecewa terhadap ketidakakuratan penokohan sebuah film, masyarakat merasa berhak untuk membuat lelucon dari kondisi fisik seseorang. Warna kulit Halle yang kehitaman, wajahnya yang dianggap kurang memesona, rambutnya yang tidak lurus tergerai, atau jarak antar bola mata yang kejauhan, adalah guyonan kasar yang warganet nikmati bersama dengan rasa kewajaran.
Semakin hari, lelucon tentang Ariel hitam itu semakin tak terkendali. Bukan lagi sebagai bentuk protes terhadap kebijakan Disney, tapi warganet mulai menikmati membuat lelucon dari ciri fisik seseorang sebagai tindakan yang sah-sah saja. Ketika perundungan terhadap Halle Bailey semakin menggila dan dianggap wajar oleh sebagian besar orang, hal ini tak pelak merupakan langkah mundur masyarakat dalam menjunjung pendidikan anti perundungan dan semangat anti rasisme. Memang benar jika Disney telah mengecewakan banyak masyarakat penikmat film dengan kebijakan yang mereka lakukan, tapi netizen lupa bahwa ini hanyalah sebuah film yang bahkan belum tentu mereka akan menontonnya.
Little Mermaid hanyalah sebuah film yang tidak akan merubah apapun dalam hidup kita, tapi guyonan perundungan dan body shaming yang masif adalah pukulan telak terhadap upaya kita untuk menjadi masyarakat yang anti perundungan. Apa yang telah dilakukan dengan merundung pemeran Ariel secara fisik adalah sebuah kekejaman serius yang telah mengambil alih kewibawaan kita sebagai masyarakat modern yang berakal dan bermartabat. Orang-orang lupa bahwa protes mereka dengan lelucon itu tak akan serta merta membuat mereka mendapatkan Ariel yang mereka inginkan. Orang-orang lupa bahwa sebagian pembaca lelucon perundungan itu adalah anak-anak yang di dalamnya mereka akan belajar bahwa merundung orang lain atas dasar lelucon dan rasa kecewa itu bisa diterima.
Upaya Pencegahan Perundungan
Berdasarkan data hasil Asesmen Nasional tahun 2021 menunjukan bahwa 24,4% peserta didik berpotensi mengalami insiden perundungan di satuan pendidikan. Hal ini tentunya perlu menjadi perhatian kita bersama untuk mencegah dan menghentikan perundungan. Dalam setiap jenjang pendidikan formal, guru wajib berjuang bersama dengan orang tua dan setiap lapisan masyarakat untuk mendidik anak-anak agar tumbuh menjadi insan yang menjunjung kesetaraan dan menjauhi tindak perundungan. Akan sangat mengecewakan jika upaya pendidikan anti perundungan hanya sebatas jargon-jargon di sekolah yang kemudian tidak siswa temukan dalam kehidupan bermasyarakat.
Kontradiksi antara nilai yang ditanamkan di sekolah dengan kasus nyata perundungan yang seolah dibenarkan ini akan membuat tujuan utama pendidikan anti perundungan tak akan pernah tercapai. Padahal esensi pendidikan kepada anak tidak bisa hanya mengandalkan sekolah semata. Keterlibatan 3 pilar, yaitu sekolah, orang tua dan masyarakat mutlak diperlukan. Perlu keselarasan antara apa yang diajarkan secara teoritis dengan contoh yang ada di dunia nyata. Hanya dengan demikianlah maka anak-anak dapat kita didik untuk tumbuh menjadi insan berbudi pekerti baik.
Jangan biarkan hal-hal remeh justru menjadi pintu bagi kita semua untuk mewajarkan setiap tindak perundungan. Karena apa yang mereka lihat di kehidupan sehari-hari, itulah yang akan mereka pelajari.