Timah dan Mimpi Baru Bersama Geopark
Oleh: Veri Yadi
Dewan Ahli Karya Muda Belitung
Editor: Ares Faujian
Pemred Media Daring Karya Muda Belitung
Timah telah memberikan sejuta harapan penduduk Belitong. Roda ekonomi di pulau ini terus berputar seiring butir-butir timah memenuhi permintaan industri semikonduktor dan berbagai industri lain yang menggunakan produk timah di belahan dunia.
Lebih dari 50% timah di dunia digunakan untuk solder dan Indonesia merajai timah dunia di bawah bayang-bayang Malaysia pada era 1980-an. Setelah Malaysia hilang dari pasar dunia di awal 90-an, Indonesia tetap bertahan di posisi kedua di bawah Cina sampai saat ini. Namun, produksi yang didorong terus merajai pasar dunia berdampak pada cadangan timah yang tersisa dan terus-menerus terkuras.
Hal ini sangat berdampak pada durasi waktu untuk tetap bergantung pada penggalian endapan timah. Bahkan bukan hanya harga timah yang menjadi momok pekerja tambang. Namun, ketersedian yang semakin hari semakin menipis dan mulai tidak ekonomis menghantui masa depan Belitong yang diperkirakan akan suram nantinya. Ditambah, kebijakan beberapa negara di dunia sebagai konsumer timah untuk industri semikonduktor seperti Jepang yang melarang impor bahan mentah dari negara tetangga Asia akibat melemahnya industri semikonduktor (sebesar 14%), yang mengakibatkan harga timah menukik tajam terkoreksi melandai di bawah 18 ribu dollar per-ton.
Warisan kekayaan alam yang kaya dan terkuras tidak selalu bisa dinikmati selamanya. Untuk itu perlu upaya menciptakan penggerak ekonomi baru namun bersinergi dengan upaya menjaga lingkungan agar aman dihuni dan nyaman ditempati.
Secercah harapan timbul saat Belitong berniat untuk mengajukan diri menjadi kawasan geopark. Geopark sebagai suatu kawasan yang mengangkat nilai warisan geologi bertaraf dunia muncul dengan menggali warisan alam dan budaya. Geopark ini pun kemudian bisa menciptakan ekonomi baru melalui kedatangan pelancong yang disuguhi dengan narasi alam yang indah berkenaan keragaman geologi, hayati, dan budaya.
Dengan mengangkat konsep ini, sejatinya, kekayaan alam Belitong layak di ekplorasi untuk dikonservasi, bukan untuk di ekploitasi. Moto ini yang sering saya sematkan untuk memberi harapan baru tentang arah pengelolaan kekayaan Belitong yang lebih baik di masa depan.

Salah Satu Pesona Geopark Belitong
Lokasi : Geosite Gunung Tajam
Belitong dikenal sebagai pulau penghasil timah tentu tidak lepas dari kajian geologi dalam upaya memahami karakter endapan serta sebaran timah yang dapat membantu geologis dalam menemukan endapan timah ekonomis. Sayangnya, kajian ini hanya terbatas pada tipe endapan ekonomis dan tidak mendalam kepada aspek geologi lebih detail seperti morfologi, fosil, tektonik dan struktur yang digunakan dalam upaya menggali nilai keragaman geologi tersebut. Dengan program geopark, maka kajian tentang warisan geologi menjadi nilai jual dan pengetahuan yang disampaikan oleh penduduk lokal ke pelancong sehingga menjadi kebanggan masyarakat dalam upaya menjaga alamnya, di sisi lain dapat meningkatkan perekonomian masyarakat lokalnya.
Dari definisi geopark yang memperkuat dari ‘bottom up’, saya sangat tertarik dengan upaya penguatan pada masyarakat kelas bawah. Untuk itu pada tahun 2016, saya tergabung dengan tim Geopark Belitong dengan agenda awalnya adalah meloloskan Belitong menjadi geopark nasional kala itu. Geopark menekankan secara kuat terhadap nilai warisan geologi dan Belitong cukup beruntung mempunyai rekam jejak geologi semenjak zaman Belanda melakukan eksplorasi timah.
Sejumlah penemuan telah saya laporkan seperti penemuan bahwa Sungai Padang terbentuk dari zona lemah kontak antara formasi batuan metasedimen Kelapa Kampit. Metasedimen ini berusia 360 juta tahun sampai dengan 250 juta tahun dengan batuan beku intrusi yang dalam berupa granit berusia Trias sekitar 218 juta tahun ± 5 juta tahun.

Batuan Sandstone Tipe Arkose Arenite sebagai Indikasi Pembekuan Lambat dan Berlangsung Lama
Lokasi : Sungai Padang, Sijuk
Selanjutnya, saya menelusuri jejak laporan Belanda tentang formasi batu kapur di utara barat Belitong yang di kasih Ayah saya tepatnya Tanjung Siantu (Sijuk). Tanjung Siantu telah dilaporkan tempat ditemukannya jejak gunung api laut dalam purba. Dan akhirnya saya temukan jejak batu kapur bersama Kik Yanto dan Kucot ketika air surut, siang hari di lokasi tersebut.
Penemuan ini tidak hanya membuktikan jejak gunung api purba laut berupa lava yang berbentuk bundar atau dikenal dengan lava bantal. Dalam penemuan ini, ditemukan pula lava dengan identifikasi jenisnya, tempat pembentukan, serta proses pembentukan lava tersebut. Selain itu, jejak samudra purba yang hilang sekitar 200 juta tahun lalu yang disebut Palaeo Tethys menjadi penemuan besar berikutnya dalam sejarah perjalanan Belitong menjadi kawasan geopark nasional.

Lava Gunung Api Purba Laut Dalam dan Indikasi Samudra Purba yang Hilang 200 Juta Tahun lalu (Palaeo Tethys)
Lokasi : Tanjung Siantu, Sijuk
Temuan ini sangat berharga untuk membuktikan bahwa Belitong merupakan bagian daratan purba yang pernah menyatu yang dikenal dengan nama Gondwanaland. Gondwanaland purba ini terjadi bersamaan dengan terbentuknya batuan granit Tanjung Pandan. Di mana, daratan Amerika Selatan saat ini masih menyatu dengan Afrika, India, Antartika, dan Australia ketika itu.
Dari Batu kapur yang saya temukan terdapat sejumlah fosil laut dalam purba dan satuan batuan ini saya namakan Formasi Batu Kapur Sijok (Sijok Limestone). Formasi ini sengaja diberi nama mengingat formasi ini tidak dicatat pada laporan geologi regional DR. Rudolf Osberger, seorang geologis berkebangsaan Austria yang melaporkan tentang geologi regional Belitong pada tahun 1968 dan menjadi acuan geologi regional Belitong sampai saat ini.
Tidak hanya berkaitan dengan batuan dan fosil. Jejak sungai purba pun saya telusuri dari pemahaman pergerakan lempeng kawasan Sundaland serta kaitannya dengan kemunculan zaman es akhir Pleistosen di bumi dimulai 1.8 juta tahun sampai 10 ribu tahun yang ditenggarai dengan kemunculan manusia modern.
Sungai purba ini merekam migrasi ikan fenomenal di Belitong yaitu Tengkelesa’ (Scleropages Formosus). Yang mana masa kemunculan hewan tersebut sangat erat kaitannya dengan pergerakan lempeng tua Australia yang masih tergabung dengan Timur Indonesia, Antartika, dan Amerika Selatan sekitar 115 juta tahun. Dengan demikian, hasil sampel sejumlah titik bor di kawasan yang masih alamiah di dasar Sungai Lenggang, di mana habitat asli tersebut ditemukan terdapat jejak gambut berupa retrified wood plant sebagai penanda rawa gambut rheotropic yang terbentuk akibat pegerakan lempeng purba.
Rawa gambut purba ini sangat penting di kawasan Asia Tenggara karena terbentuk pada zaman Kenozoikum (<65.5 juta tahun lalu) dan tercatat sebagai zaman pengendapan batu bara paling kaya di kawasan Asia Tenggara. Gambut sebagai bahan pembentukkan batu bara dari tumbuhan purba kaya mengendap di dasar Sungai Lenggang yang kaya akan nutrisi dan menjadi habitat berbagai spesies hewan air tawar.
Hal yang penting dari penemuan ini, Belitong pun merekam peristiwa terjadinya banjir bandang (Deluge) era Nabi Nuh sekitar 5.000 tahun lalu. Berdasarkan kajian ilmiah, peristiwa tersebut merupakan akibat dari mencairnya es pada zaman Pleistosen yang pada awalnya permukaan laut berada di elevasi -180 m di bawah posisi sekarang, yang sekitar 20 ribu tahun kemudian berangsur-angsur meningkat tajam sampai menemukan posisi puncak sekitar 5 m di atas posisi saat ini yang mengakibatkan peristiwa banjir besar.
Kejadian ini sangat menarik dan menjadi kajian Palaeobiogeography. Di mana fenomena unik ini menyebabkan keragaman fauna di Belitong akibat peristiwa yang dikenal dengan istilah Plesitocene Species Pump.
Rangkaian penemuan ini menjadi modal menarik mengkaji keragaman Belitong yang tidak lagi mengandalkan kekayaan alam untuk dikeruk dan dijual. Namun, pemahaman dan upaya menjaga kelestarian alam menjadi nilai berharga dalam upaya mempromosikan Belitong menjadi kawasan yang memiliki warisan geologi bernilai dunia serta kekayaan hayati, sejarah, dan budaya yang mengikuti dan membentuk peradaban saat ini.
Dengan semakin mendalamnya pemahaman warisan geologi Belitong serta kaitannya dengan keragaman hayati serta sejarah. Maka, Belitong semakin punya nilai jual di kancah dunia. Seiring dengan menipisnya cadangan timah serta lahan yang makin terbatas dan harapan baru ini sangat perlu untuk dikuatkan.
Tahun 2017 di Kantor Pusat PT Timah saat saya memberikan workshop timah primer, Sutedjo Sujitno (Alm) sebagai penasehat dan juga eksplorasi senior PT Timah yang sukses menemukan cebakan timah yang kaya di Indonesia menyampaikan kepada saya. “Timah Indonesia telah menuju sunset” tukasnya. Saya pun berpikir bahwa masa kejayaan itu tinggal kenangan dan kita harus menapak mimpi baru bersama geopark untuk menjaga alam yang kaya dengan warisan-warisan dunia yang dimiliki alam Belitong.
Jadi, masih bermimpikah timah menjadi primadona ekonomi masyarakat di masa depan? Percayalah, bukan hanya banjir yang kita hadapi ketika timah menjadi penggoda hawa nafsu kita. Keterpurukan alam, termasuk bencana sosial akan menjadi mimpi buruk bagi anak-cucu kita dan untuk pulau Belitung secara keseluruhan. Wallahualam bissawab.
Bravo mas… Semoga Belitong segera UGGp..
Terima Kasih Pak Budi Martono, mari kita dukung bersama supaya Belitong menuju UGG