Tren Koreanisasi: Gak Korea Gak Gaul?
Oleh:
Anindya Nabila Azzahra
Siswa Kelas Sosioliterasi G4
SMA Negeri 1 Manggar
Editor: Ares Faujian
.
Kita tentu sudah tidak asing lagi dengan istilah “tren”. Dilansir dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tren artinya gaya mutakhir. Adanya suatu tren secara tidak langsung membuat suatu negara mengalami perubahan. Alasan penulis mengangkat judul ini karena penulis merasa tren asing, terutama Korea, sangat banyak diminati dan diikuti oleh masyarakat Indonesia.
Di Indonesia sendiri, tren Korea ini seperti tak pernah ada habisnya dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya televisi yang menyiarkan drama-drama Korea, kanal media berbagi film dan musik yang menyuguhkan film-film dan lagu-lagu Korea. Tak hanya itu, menjamurnya rumah makan yang menghidangkan masakan Korea, serta tempat-tempat wisata yang menyajikan nuansa Korea juga seperti menambah aura Koreanisasi di Indonesia. Selain itu, gaya berpakaian ala-ala Korea juga sangat diminati masyarakat, terutama pada kalangan remaja.
Perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat menjadi salah satu faktor cepatnya budaya Korea ini mendapat perhatian dan menjadi tren di masyarakat Indonesia. Ini menandakan budaya Korea diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia. Seiring berjalannya waktu, tren Korea ini semakin meluas dan banyak diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari para pecinta budaya Korea. Fenomena ini seolah-olah menunjukkan terjadinya “Koreanisasi” di masyarakat yang berpendapat “gak Korea gak gaul”.
Peristiwa masuknya budaya Korea ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia ini termasuk ke dalam proses akulturasi budaya. Akulturasi budaya adalah sebuah proses masuknya budaya asing ke dalam budaya sendiri dengan tidak mengubah kepribadian kebudayaannya sendiri. Sedangkan menurut Koentjaraningrat (2005), akulturasi budaya adalah proses sosial yang timbul jika suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tersebut secara lambat diterima dan diolah dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.
Menurut Edward Burnett Tylor (1871), kebudayaan adalah sistem kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan, serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dilihat dari perspektif waktu, perkembangan kebudayaan dapat terjadi secara lambat (evolusi), secara cepat (revolusi), dan secara mendadak (inovasi).
Tren Korea yang masuk ke Indonesia termasuk perkembangan kebudayaan secara cepat (revolusi), yang dibuktikan dalam kurun waktu kurang lebih tiga tahun budaya Korea berhasil menjamur dan menjadi tren di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini tentu tidak lepas dari antusiasme fans fanatik Korea serta keterbukaan masyarakat Indonesia terhadap budaya baru. Cepatnya proses penyerapan budaya Korea ini jika tidak diimbangi dengan penguatan dan kecintaan terhadap budaya lokal, dikhawatirkan dapat menghilangkan ciri bahkan menggantikan kebudayaan asli Indonesia.
Tren Korea yang terjadi saat ini, tentu akan memberikan dampak baik positif maupun negatif terhadap norma-norma kehidupan masyarakat dan budaya asli Indonesia. Dampak positifnya adalah kita dapat menambah wawasan dan mengenal budaya Korea, serta meniru kebiasaan-kebiasaan baik yang mereka lakukan. Salah satu contohnya adalah masyarakat Korea dikenal rajin dan pekerja keras, kebiasaan ini dapat kita tiru dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan dampak negatifnya, jika penyerapan budaya Korea ini tidak diimbangi dengan penguatan kecintaan dan pelestarian budaya lokal, dikhawatirkan suatu saat dapat menggeser posisi kebudayaan lokal, dan perlahan-lahan dapat meredupkan nilai-nilai,serta norma-norma yang berlaku di masyarakat. Budaya Korea yang bebas juga dikhawatirkan akan ditiru oleh masyarakat khususnya remaja, yang nantinya dapat mempengaruhi bahkan merusak masa depan mereka.
Untuk meminimalisir dampak negatif tersebut, perlu adanya peran aktif dari keluarga, masyarakat dan pemerintah. Peran keluarga dalam hal ini orang tua menjadi sangat penting. Orang tua merupakan contoh paling dekat yang dapat ditiru oleh anak-anaknya. Untuk itu, orang tua harus memberikan contoh yang baik bagaimana menyikapi masuknya budaya asing dalam kehidupan dan bagaimana menjaga dan melestarikan norma-norma dan budaya Indonesia. Selain itu, orang tua juga harus lebih memperhatikan dan mengawasi anak-anak mereka terhadap tren budaya asing, serta memberikan pengertian tentang dampak positif dan negatif tren budaya asing tersebut kepada anak-anak, sehingga mereka dapat mengambil pelajaran dan membatasi diri dari pengaruh buruk budaya asing.
Peran masyarakat yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak negatif budaya asing adalah dengan melestarikan kebudayaan sendiri. Contohnya, memasyarakatkan kembali seni berpantun, melakukan upacara adat seperti Maras Taun di Bangka Belitung, Festival Danau Sentani di Papua, dan sebagainya.
Hal yang tidak kalah penting adalah dukungan pemerintah, yaitu dengan membuat kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk melestarikan kebudayaan. Peran pemerintah untuk melestarikan kebudayaan dapat dilakukan dengan memperbanyak kegiatan-kegiatan pagelaran budaya, menampilkan unsur-unsur kebudayaan dalam setiap kegiatan, memasukkan materi kebudayaan lokal dalam mata pelajaran di sekolah untuk kategori muatan lokal, menjadikan pakaian adat sebagai seragam sekolah, memberikan pengakuan dan penguatan fungsi masyarakat adat.
Masuknya kebudayaan asing ke dalam sendi kehidupan masyarakat Indonesia merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Berkembangnya budaya asing tersebut tidak lepas dari karakteristik masyarakat Indonesia yang terbuka dan mudah menerima sesuatu yang baru. Pertanyaannya adalah, apakah kita akan membiarkan budaya asing tersebut masuk dengan mudah dan akhirnya seolah-olah menjadi budaya kita? Atau apakah tidak lebih baik jika kita yang mengenalkan budaya kita kepada negara lain?