Tuju
Menuju fajar langkah kakiku berjalan dalam keharibaan. Kupungut titik-titik rindu mengalir dalam denyut yang kian hari membeku.
Jika hidup adalah perjalanan, biarkan aku menabung recehan perih atas pergimu sore itu.
Senja membawa langkahmu mengarungi samudra luas, kukira itu hanya rantau tapi kau terlalu asyik bercanda bersama bunga-bunga di sana.
Aku terlalu yakin pada jam tangan yang kau beri sebagai pengukur jauhmu, pergimu, dan ketiadaanmu. Menunggu itu sudah mengiman dalam dadaku. Berharap kau berbalik arah menatapku dan pulang.
Tiap hari kulawan rasa marah, gelisah, ego kepada kalender karena berganti halaman terus seakan waktu merenggut segalanya dari kita. Menutup jalanmu dan rasaku. Kini kau teramat curam untuk kugenggam. Tanganmu tak sehangat kali pertama kita berjabat tangan memperkenalkan diri dulu. Tatapan itu mati dan sendu seakan kita adalah ketiadaaan yang memaksa ada.
Kini, dukaku mengakar dari rindu hingga candu.
Candu mengenangmu, kita, dan malam Rabu.
Sekali lagi, jika hidup adalah perjalanan. Izinkan aku menganggapmu tuju. Meski jalan terseok, kamu beralih, dan kita mati. Percayalah degup dadaku abadi.
Puisi karya Bintang Oetara
(6 Mei 2020)