Vanam: Kisah Penyihir di Tanah Belitung (Bagian 1)
Oleh:
Widiantika Imamoza
Editor:
Ares Faujian
Bukit Samak, 1997.
Aku dan abangku adalah perantau dari Utara. Dari negeri yang tak jauh berbeda dari Belitung, masih serumpun, masih sama melayu. Kami tiba di Belitung enam bulan yang lalu, berbekal tawakal dan dua ikat singkong dari tetangga kanan kiri. Aku masih ingat, betapa beratnya hari-hari pertama merantau di negeri orang. Aku sering menangis kala itu dan baru akan tenang jika abang sudah ada di rumah.
Ibu dan Ayahku sudah meninggal. Kami tak punya saudara untuk membantu, namun takdir memberikan jawabannya, abangku mendapatkan pekerjaan sebagai guru sekolah dasar di negeri nun jauh di Selatan, di sini, di tanah Belitung ini.
Selama setengah tahun itu, aku bertemu dengan seorang teman. Ia Mariam. Perempuan keturunan kulit putih dengan tudung luar biasa panjang hingga ketika berjalan di lantai masjid tudungnya akan terseret-seret, menyapu serat-serat sajadah. Tak ada yang tampak dari batang tubuhnya selain wajahnya yang selalu menatap takut-takut ke setiap orang. Selain itu yang menarik darinya hanya tabiatnya yang seperti orang Bushman dalam salah satu serial televisi, polos, lugu, dan mengejutkan.
Malam itu, selalu dalam kisahnya, Mariam datang di penghujung acara, “Assalamualaikum,” tutur Mariam. Seperti biasa, ia akan menunduk dan manggut-manggut seperti orang dengan penyakit mental.
“Wa’laikumsalam, masuk, Mariam,” ia tak akan masuk sampai aku memanggilnya. Di hari pertama bertemu tak begitu mengenakkan karena akibat keacuhanku ia tak pernah sampai di depan wajahku untuk mendengar ceramah dan malah minggat dari sana.
Mariam akan tersenyum kepadaku namun akan merengut dengan orang lain. Mungkin karena hanya aku yang berani menghampirinya dan menanyakan namanya di waktu pertama kemunculannya. “kita lanjutkan, ya,” tuturku, menyapu pandang seluruh jamaah yang masih gadis-gadis itu, “seperti halnya pada zaman kenabian nabi Luth As. Beliau diharuskan berdakwah di antara orang-orang yang tak beriman dan tanpa akhlak. Pada kala itu, orang-orang melakukan zina seperti melakukan keseharian. Menyukai sesama jenis, yang laki dengan lelaki lainnya, dan yang perempuan dengan perempuan lainnya. Tak masalah mereka. Hingga Allah..”
“Mengapa demikian? Mengapa tak boleh?” Itu Mariam. Baru 5 detik tadi aku melihatnya seperti sekuntum Centifolia, kini ia lebih mirip setumpuk Black Baccara. Suaranya agak takut-takut namun tersirat ketidaksetujuan di sana. Ia tak mendelik pada yang lain, hanya padaku.
“Allah menurunkan..” aku berusaha menjelaskan kembali.
“Cinta adalah wajar selama kau menganggapnya begitu,” setelah berkata seperti itu, Mariam dengan wajah tak berseri buru-buru mengangkat baju panjangnya dan pergi. Di tengah pintu ia berhenti, “Assalamu’alaikum.”
Aku dan jemaah lainnya hanya bisa menatap satu sama lain, tak dapat berkata apa-apa. Kejadian tadi begitu cepat. Yang dapat kutangkap hanyalah Mariam bertingkah aneh dan tak ada yang tahu mengapa. Semenjak itu, ia tak pernah lagi hadir dan alasan di baliknya masih menjadi misteri bagiku.
***
Hampir sepekan berlalu namun Mariam tak pernah lagi datang ke masjid. Aku tahu rumahnya di dekat perempatan sana, di antara pohon-pohon ketapang tua, tapi aku tak pernah berani mengunjunginya. Takut-takut ia memang sedang ada masalah dan butuh waktu untuk menyendiri.
Namun malam selanjutnya, tak ada angin tak ada hujan Mariam dengan setelan andalannya membuka pintu masjid. Ia mengucap salam kemudian duduk bersimpuh, membaur di antara kerumunan gadis-gadis Bukit Samak. Ia mirip sekali dengan pohon cemara angin, tinggi, seram, dan sekeras batu. Energi yang ia bawa serasa mendominasi, namun ini tak baik.
Perempuan itu menggelar tudung panjangnya, kemudian menatapku lekat seperti sedang memberikan semua kesengsaraannya padaku. Aku tak nyaman, begitu juga dengan gadis-gadis ini yang sudah bercuat-cuit sedari tadi.
“Baiklah kita lanjutkan..” tuturku.
“Munafik! Pendosa!”
Seperti disambar petir, aku terperanjat dari tempatku. Aku berusaha untuk tak berpikir seruan laknat itu datang dari sisi kanan masjid, tempat Mariam baru saja duduk. Namun ketika melihat gadis-gadis bukit itu menyorot ke arahnya serentak, aku tak berdaya, seperti mawar yang dicabut kelopaknya.
“Perempuan Jahanam ini, yang kalian puja-puja keanggunan lisannya menyukai aku lebih dari lelaki memujaku! Di sini ia komat-kamit tentang agama sementara di luar sana ia meracau-racau, memaksa aku untuk bersama dengannya. Engkau munafik! Pendosa! Laknatullah!” Mariam meraung, keras sekali. Menggema tekaknya hingga seantero Bukit Samak.
Aku tak bisa melakukan apa-apa, kejadian ini terlalu menohok batin dan ragaku. Yang aku tahu detik selanjutnya Mariam sudah ada di hadapanku, mencengkeram kuat leherku sementara gadis-gadis lain hanya bisa gaduh, berusaha memisahkan.
Bersambung
Bagian 2
https://belitungmuda.com/vanam-kisah-penyihir-di-tanah-belitung-bagian-2/
Pic by kompasiana.com