Vanam: Kisah Penyihir di Tanah Belitung (Bagian 2)
Oleh:
Widiantika Imamoza
Editor:
Ares Faujian
Mariam menatap nanar ke arahku. Bisa kulihat kebencian menguar dari raut wajahnya. Mariam, dengan segala kemurkaannya kemudian berbisik ke telingaku, “aku anak iblis,” aku menangis saat itu juga. Bukan, bukan aku takut dengan kekuatan jemarinya yang bisa saja meremukkan tenggorokanku, namun aku bersedih karena sesuatu telah terjadi padanya dan aku masih belum tahu mengapa. Perempuan itu lalu menarik kasar tangannya. Ia menatapku agak lama sebelum akhirnya melarikan diri dari sana.
Malam kian gelap. Gadis-gadis lain masih riuh. Begitu juga denganku. Tapi yang kacau bukan pikiranku, melainkan hatiku. Aku tak begitu mengenal perempuan itu, namun yang tadi itu bukan Mariam. Ia menatapku seakan telah membenciku seumur hidupnya. Menatapku seakan sanggup merenggut nyawaku. Aku masih belum paham apa yang tengah terjadi, namun yang aku tahu, Mariam tengah dalam bahaya dan aku harus menolongnya.
“Salha, aku harus pergi ke rumah Mariam. Tunggulah di sini. Jika aku tak kembali sebelum tengah malam, susul abangku di tengah kota, katakah padanya aku berada di rumah Mariam,” setelah berkata seperti itu aku lalu pergi sambil berharap cemas perempuan itu tak bertindak lebih jauh lagi.
Jalanan kampung sepi. Biasanya tak begitu tenang seperti ini, namun malam ini masyarakat kampung berbondong-bondong ke tengah kota, pun abangku dan teman-temannya. Menyaksikan serunya bapak-bapakdan bujang-bujang kampung ngelasak dan beradu pantun. Namun aku di sini, mengetuk pintu depan rumah Mariam, rumah nian tinggi peninggalan Belanda.
“Assalamu’alaikum, Mariam. Ini aku, Mulan.”
“Wa’alaikumsalam. Masuklah,” suara Mariam yang seperti semilir angin di subuh hari itu mempersilahkanku untuk masuk.
Pintu terbuka, namun tak ada Mariam di sana. Ruang tengah juga sama kosongnya. Lampu yang temaram ini sungguh menyulitkanku. Tak ada yang bisa aku lihat selain foto-foto lama dengan bingkai luar biasa besar yang menempel di dinding-dinding ruangan.
Bunyi-bunyi dari hewan malam mulai bersahutan, mengalun ke seisi ruangan seperti menunjukkan bahwa aku tak sedang sendirian. Atmosfer di dalam sini pun perlahan mencekam, terlebih saat aku mulai menyusuri lorong dengan sebuah pintu di ujungnya. Entah apa yang aku pikirkan, namun aku berdiam cukup lama di sana sebelum akhirnya sepasang tangan memelukku dari belakang.
“M-Mariam?” Seruku, sungguh terkejut.
Tak ada jawaban. Cukup lama seperti itu hingga membuatku gelisah dan bermaksud melepaskan pelukannya. Namun tanganku terhenti ketika pintu di ujung lorong tadi perlahan terbuka. Aku meneguk ludah. Mataku tak pernah lepas sedikitpun dari setiap gerakan di ujung lorong. Namun detik selanjutnya pintu terhempas amat keras disertai Mariam dengan wajah pucatnya berteriak di samping telingaku, “munafik!!!”
“Allah! Allah! Allah!” Aku melepaskan pelukannya dan berlari secepat mungkin dari sana. Nafasku memburu, tubuhku gemetar berusaha mencapai pintu depan. Namun di ruang tengah aku berhenti. Aku tersentak ketika tahu Mariam tengah duduk berdoa di atas sajadahnya sambil terisak.
Aku lalu meyakinkan diriku untuk mendekatinya, “Mariam?” Perempuan itu tetap tak acuh pada seruanku. Ia tetap berdoa seperti orang gila dengan suaranya yang serak dan teramat lirih, “M-Mariam?” Namun setelah seruan keduaku Mariam seketika terdiam. Ia menurunkan tadahan tangannya, kemudian menundukkan kepalanya. Tak begitu lama sebelum akhirnya tubuh perempuan itu bergetar hebat. Kedua tangannya mencengkeram sajadahnya sambil terus menggeram seperti tengah kesakitan.
“Allah!!!” Mariam menyalak. Pintu terbuka, angin berembus kencang, menyibak mukena Mariam. Sebuah lafal “Anak Iblis” dalam Bahasa Arab terlihat di kedua lengannya, “aku adalah hamba Tuhan! Hamba Allaaah!” Mariam berteriak sekencang-kencangnya. Tubuhnya melengkung, mulutnya ternganga dengan bola mata yang seperti akan keluar.
“Dia adalah Vanam! Penyihir!” Sebuah suara dari sudut ruangan mengalihkan pandanganku, “saudara setan, utusan iblis! Dia sudah hidup sejak zaman dahulu kala. Tak pernah mati dan tak akan pernah mati hingga Tuhanmu menurunkan kiamat. Itulah sihirnya!
“Siapa engkau!” Dengan suara bergetar aku berteriak.
“Aku adalah temanmu. Mariam,” Seseorang dengan wajah yang persis seperti Mariam keluar dari kegelapan, tersenyum padaku. Ia mengenakan mukena yang juga persis sama dengan Mariam, hitam, dan panjang hingga ke jemari kaki.
Aku terperangah, kemudian seketika menoleh ke bawah. Namun yang kudapati adalah Mariam yang sudah terkulai dengan mulut bersimbah darah dan aku yang berdiri di atas tubuhnya, “Allahu, Mariam!”
“Mulan!” Sebuah suara memanggilku. Itu Ikhsan, abangku. Laki-laki itu menerobos pintu rumah Mariam, berlari ke arahku dan segera membantuku berdiri.
Sosok yang menyerupai Mariam itu seketika mengerang, merayap lalu menghempas-hempaskan tangannya ke lantai, “anak Adam!! Bersongkok dan bertasbih namun hatimu penuh dengan kemungkaran!” ia berludah, “Alrojul almunafiqu alladzi ya’budullah! ‘Antum bashar mamlu’un bialdzunab la yahiqu lakum ‘ibadatallah!!!” Sosok itu kembali mengerang.
Ikhsan terus menggemakan ayat suci Al-Qur’an. Tak berkedip ia walau sosok jahat di sana berusaha menggapai tubuhnya. Ia kemudian menyuruhku untuk membawa Mariam keluar.
“Munafik! Kafir!” Sosok itu tak henti berteriak.
Aku dan abangku berhasil menghindari sihir makhluk tadi dan membawa tubuh Mariam keluar dari sana. Ikhsan dengan segera mengunci pintu rumah Mariam. Ia menyuruh kami untuk tetap tenang dan terus mengucap zikir sebelum akhirnya bergegas pergi.
***
Esok harinya, setelah kejadian semalam, Mariam menjelaskan semuanya kepada kami. Ternyata, pada masa lalunya, Mariam telah melakukan sebuah dosa besar. Perempuan itu berusaha menebusnya dan kembali ke jalan yang benar namun sosok itu tak ingin melepaskannya.
Kisah Mariam kemudian menjadi pelajaran berharga bagiku. Kita adalah hamba-Nya. Tak ada yang berhak disembah kecuali Dia. Kesesatan hanya akan membawa pada kemungkaran.
-TAMAT-
Bagian 1
https://belitungmuda.com/vanam-kisah-penyihir-di-tanah-belitung-bagian-1/